Laman

Rabu, 25 Februari 2015

Simonides dan Ingatan yang Terpahat

Simonides dan Ingatan yang Terpahat

Yusuf Arifin - detikSport

Di satu saat di Yunani lima abad sebelum lahir Yesus Kristus, berlangsung sebuah pesta untuk menghormati Scopas, seorang bangsawan Thessalia. Penyair terkenal Yunani saat itu, Simonides, berpidato menyampaikan puja pujinya di hadapan hadirin.

Ia baru saja duduk ketika seseorang menepuk pundaknya dan mengatakan ada dua orang berkuda yang baru saja datang menunggu di luar ruangan membawa pesan penting. Ia berdiri kembali dan bergegas berjalan ke luar ruangan.

Persis saat penyair itu tiba di luar ruangan, bangunan tempat pesta berlangsung runtuh dan menimbun mati semua yang ada di dalamnya. Penderitaan bertambah ketika reruntuhan berhasil disingkirkan, tak satu pun mayat bisa dikenali karena rusak berat.

Beruntung Simonides mempunyai daya ingat yang sangat tajam. Di tengah histeria, ia menenangkan mereka yang panik mencari teman maupun sanak saudara. Ia menuntun mereka ke posisi di mana semua orang berada persis sebelum keruntuhan terjadi.

Simonides ingat saat ia berpidato: Scopas tertawa di ujung meja, di seberang meja duduk sesama penyair sedang menghabiskan makanannya, di ujung meja yang lain seorang bangsawan tersenyum nyinyir, si A bersandar di pilar melamun, si B di sebelah menyimak pidato dengan tekun, dari jendela yang terbuka tampak dua orang menunggang kuda yang seperti terburu-buru menuju ke tempat pesta, dan seterusnya dan seterusnya. Tidak ada yang terlewatkan dan tidak diingat oleh Simonides. Semuanya terekam di otaknya. Seperti cetak foto yang terpahat di kepala.

Menurut legenda, seni ingatan (the art of memory) lahir persis ketika Simonides mendemonstrasikan daya ingatnya yang luar biasa itu. Terutama sekali seni ingatan lewat metode loci (ruang).

Kita tahu ingatan yang tajam itu tidak selalu given (anugerah yang didapat begitu saja) sifatnya. Tetapi bisa dilatih (dengan kerja keras dan disiplin tentunya). Untuk memudahkan Simonides mengajari orang untuk membuat ruang-ruang imajiner di otak sesuai keperluan dan kemudian mengatur apa yang ingin diingat/disimpan dalam ruangan-ruangan itu.

Padanan sederhananya seperti dengan komputer ketika kita membuat folder lalu diisi dengan file-file yang kita inginkan. Pada saat tertentu ketika diperlukan ingatan itu bisa dipanggil kembali, layaknya Simonides membangun kembali ruangan pertemuan itu beserta isinya. Bahkan Simonides juga mengajarkan, seperti juga komputer, kita bisa menghapus file-file itu dan kita isi dengan ingatan-ingatan baru.

Di Amerika dan Inggris (juga Eropa) walau tidak populer seni ingatan semacam yang didemonstrasikan oleh Simonides hingga sekarang masih lestari. Bahkan ada lomba tahunannya.

Tetapi apa hubungan seni ingatan ini dengan sepakbola?
Suatu saat para ilmuwan di Inggris membahas tentang kemampuan para pemain sepakbola: membaca permainan, pergerakan pemain lawan maupun kawan, memahami ruang, menghitung beberapa kemungkinan skenario kejadian, dan melakukan eksekusi gerakan/tendangan. Semuanya dilakukan simultan dalam hitungan detik, dengan berbagai variasi, dan intensitas yang tinggi.

Dibutuhkan pemahaman geometris yang rumit, hukum kekekalan energi, hukum gravitasi, dan sekian persamaan matematis rumit lain untuk melakukan semua itu. Belum lagi pemahaman membaca bahasa tubuh lawan dan kawan.

Bagaimana para pemain sepakbola melakukan semua itu? Padahal semua orang tahu, rata-rata pemain bola katakanlah kalau mereka harus menempuh jenjang akademis, sudah cukup beruntung tidak tinggal kelas. Pada titik ini Simonides bersinggungan dengan sepakbola.

Anda tahu menjadi pemain sepakbola bukan sekadar persoalan bakat dan fisik saja. Sepakbola juga persoalan ingatan yang tercermin lewat kebiasaan, pola, dan imajinasi.

Seorang pakar psikologi yang banyak menelaah persoalan ingatan dan kognisi, K. Anders Ericsson melakukan penelitian terhadap mereka yang dianggap jagoan (kalangan elit) dalam berbagai bidang seperti musik, olahraga, dan ilmu pengetahuan. Hasil penelitian itu ia tuangkan dalam bukunya The Road To Exellence: The Acquisition of Expert Performance in the Arts and Sciences, Sports, and Games. Ia berkesimpulan bahwa untuk menjadi jagoan di bidangnya rata-rata orang begitu menginjak umur 20 tahun telah melakukan latihan minimal 10 ribu jam dengan intens.

Elemen utama dari latihan itu adalah pengulangan secara terus menerus yang dianggap penting agar yang bersangkutan mempunyai ketrampilan, pengetahuan, dan pemahaman adaptasi psikologis agar segala sesuatunya menjadi mekanis. Pendeknya, menciptakan ingatan mental yang secara reflek bisa dipanggil kembali bila diperlukan.

Kalau kita baca kisah-kisah para pemain bola, hampirnya semuanya mempunyai kisah yang serupa: gila bermain bola yang hampir mendekat obsesi, sebagian memang obses dengan bola, sejak masih kecil. Bola tidak pernah jauh dari kaki kapanpun juga. Dan di setiap kesempatan selalu bermain: di ruang layak maupun tidak, cukup teman atau tidak.

Apa yang terjadi pada mereka ini, walau tanpa mereka sadari, adalah apa yang disebut Simonides menciptakan ruang-ruang ingatan dan mengisinya. Sementara Ericsson menyebut ingatan mental yang secara reflek bisa dipanggil kembali ketika diperlukan.

Tanpa disadari mereka calon pemain bola itu meresapi apa yang disebut para ilmuwan sebagai pemahaman geometris yang rumit, hukum kekekalan energi, hukum gravitasi, dan sekian persamaan matematis rumit lain. Mereka mengumpukan ribuan bahkan puluhan ribu ingatan mental yang terkait dengan permainan bola sekaligus persamaan matematis rumit itu.

Kalau bola ditendang dengan sudut seperti ini akan bergerak seperti itu, berapa tenaga yang harus dikeluarkan untuk menendang sesuai jarak yang diinginkan, bagaimana cara agar melambung atau menyusur tanah, memanipulasi gerak bola, bagaimana membaca bahasa tubuh lawan, melakukan pergerakan dengan ataupun tanpa bola, bekerja sama, memanfaatkan ruang sempit dan lebar, dan seterusnya, dan sebagainya.
Pelatihan yang benar dan terstruktur diperlukan agar ingatan mental itu bisa diarahkan, dirawat, dan diperkaya. Semakin dini latihan diberikan akan semakin baik. Setidaknya kalau hanya berpegang pada kuota 10 ribu jam tanpa menghitung faktor lain, maka angka minimal itu akan terpenuhi lebih cepat. Ruang ingatan seperti yang dikatakan Simonides akan terisi dibatas minimal.

Juga pertandingan-pertandingan yang sesungguhnya, ikut memperkaya ragam ingatan-ingatan itu. Kemampuan otak untuk menjadi layaknya busa untuk menyerap pengalaman tidak pernah berhenti.



Saya tidak berani menilai apakah apa yang diajarkan Simonides dan Ericsson benar adanya. Tetapi andai mereka berdua ini benar, lalu kita melihat sebuah kesebelasan (tingkat nasional yang berarti pemain-pemainnya adalah puncak pilihan--jagoan) secara konsisten tampil buruk, maka kita patut bertanya: Cukupkah ingatan mental dibenak para pemain itu? Cukup tersediakah fasilitas –pelatih, lapangan, klub, maupun infrastruktur lain-- untuk membentuk ingatan mental para pemain itu? Adakah fasilitas pembinaan berjenjang untuk membimbing para pemain itu? Adakah kompetisi yang sehat untuk merawat dan memperkaya ingatan-ingatan itu?

Kalau jawaban terhadap empat pertanyaan itu positif semua, maka akan sangat menakutkan. Karena berarti ada persoalan yang lebih mendasar dari sekadar persoalan sepakbola yang harus diselesaikan.

Kalau jawabnya negatif, itu juga menakutkan tapi lebih gampang menyelesaikan. Siapapun yang bertanggung jawab menangani dunia persepakbolaan negara itu, pastilah tidak kompeten.



====

*Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar