Kamis, 12 Februari 2015

Sepakbola Perempuan (I): Sebuah Sejarah Perlawanan Panjang

By Muhammad Rezky Agustyananto,


6spsspp.jpg “The history of women’s football is remarkable. It’s not even been forgotten – it’s never been remembered. It’s been a constant fight against discrimination and inequality, and there has been a succession of strong, pioneering women who led the way and enabled change to happen.” – Margot McQuaig.
Tulisan Marini Anggitya Saragih yang berjudul Gelinding Patriarki Sepakbola Nasional seakan menyadarkan kita soal bagaimana masih termarjinalkannya sepakbola perempuan di negara ini. Juga menyadarkan kita soal bagaimana minimnya perhatian dan pengetahuan sebagian dari kita akan sepakbola perempuan. Bagaimana sejarahnya? Apakah sepakbola perempuan juga termarjinalkan di negara-negara lain di dunia? Dan bagaimana perkembangannya saat ini? Tulisan ini, serta tulisan kedua yang akan hadir pada hari Senin nanti, ingin mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
***
Sebagaimana sejarah asal muasal permainan sepakbola, tidak diketahui dengan pasti kapan tepatnya perempuan mulai bermain sepakbola. Football Association (FA) mengakui bahwa pertandingan sepakbola perempuan pertama yang terjadi adalah pada tahun 1895, ketika North mengalahkan South dengan skor 7-1. BBC mencatat bahwa pertandingan internasional sepakbola perempuan pertama Britania Raya sudah berlangsung 14 tahun sebelumnya, ketika tim perwakilan Skotlandia mengalahkan tim perwakilan Inggris dengan skor 3-0. Ada juga sumber lain yang mengatakan bahwa sudah ada dokumentasi tentang sebuah pertandingan sepakbola perempuan yang dimainkan pada tahun 1628.

Dr. Barbara Cox MBE, sejarawan sepakbola dari Selandia Baru yang juga menjadi konsultan untuk FIFA dan asosiasi sepakbola negaranya, mengatakan bahwa ada bukti yang lebih kuno soal perempuan bermain sepakbola. Dalam sebuah tulisan, ia mengatakan bahwa ada bukti lukisan dari era Dinasti Han, dari abad kedua Masehi, yang menggambarkan bagaimana dua perempuan bermain sepakbola. Ia juga mengatakan bahwa di Inggris, pertandingan sepakbola antara perempuan lajang dan perempuan yang sudah menikah diadakan setiap tahun di abad pertengahan.

Entah mana yang benar. Yang pasti, catatan mengenai sepakbola perempuan baru mulai banyak bermunculan di akhir abad 19. Ketika itu, sepakbola perempuan terus berkembang, tak kalah dengan sepakbola laki-laki yang di abad itu juga mulai mengalami kemajuan pesat. Sayangnya, jumlah kaum laki-laki yang menganggap bahwa sepakbola adalah olahraga yang maskulin dan tidak pantas dimainkan oleh perempuan juga bertambah. Di tahun 1880an, sepakbola perempuan mulai mendapatkan ancaman. Sebuah pertandingan sepakbola perempuan di Glasgow bahkan sampai harus dihentikan setelah ratusan laki-laki merangsek masuk ke dalam lapangan. Para pemain perempuan itu pun lari tunggang langgang, dan meninggalkan tempat itu dengan kereta-kereta kuda.
Sejak saat itu, mulai muncul desakan untuk melarang perempuan bermain sepakbola. Apalagi, itu adalah era kekuasaan Ratu Victoria, di mana para perempuan memang dibatasi hak-haknya dan mulai digiring untuk ‘tinggal di rumah’. Kondisi semakin runyam ketika pada tahun 1894, para profesional di bidang kedokteran pun mengatakan bahwa perempuan harus dilarang dari sepakbola. Larangan itu memang belum benar-benar muncul, tetapi sepakbola perempuan terus ditekan perkembangannya. Tentu perlawanan tetap dilakukan oleh para perempuan, salah satunya yang ditunjukkan oleh Mary Hutson. Hutson, yang menggunakan nama samaran Nettie Honeyball, mendirikan sebuah tim yang diyakini sebagai tim sepakbola perempuan pertama yang ‘sebenarnya’, British Ladies Football Club, di tengah tekanan ideologi Victorian tersebut. Sebuah perlawanan yang ia lakukan dengan begitu serius, dengan tim yang menggunakan seragam yang pantas dan bermain dengan profesional sehingga membuat hadirnya penonton dalam jumlah yang besar. Mereka bahkan sempat melakukan tur di Inggris dan Skotlandia, dan melakoni sampai sekitar 20 pertandingan.
Tapi tentu saja, tekanan terhadap sepakbola perempuan tidak berhenti. Puncaknya terjadi pada tahun 1921, ketika secara resmi sepakbola perempuan benar-benar dilarang dimainkan di lapangan-lapangan milik Football League, karena menurut FA dalam pengakuannya di situs resminya saat ini, “…the game of football is quite unsuitable for females and ought not to be encouraged.”

Larangan tersebut sebetulnya ironis. Dua atau tiga tahun sebelumnya (data tahun mengenai ini agak simpang siur), sebuah pertandingan sepakbola perempuan, yang juga dilangsungkan di Glasgow, berhasil mendatangkan hingga 50.000 penonton, dan mengumpulkan uang senilai 150.000 pounds untuk aktivitas-aktivitas amal di masa perang. Sebuah jumlah yang menjadi rekor tersendiri dari segi penonton, dan jumlah uang yang tidak sedikit yang begitu berguna untuk masyarakat banyak yang terkena dampak Perang Dunia I.
Hal itu tentu tidak hanya terjadi di Inggris. Di negara-negara lain pun demikian. Tidak ada dukungan bagi para pesepakbola perempuan, bahkan ada juga yang memberikan larangan bermain sepakbola bagi para perempuan. Baik itu karena masalah kesehatan, maupun karena anggapan ‘menyalahi kodrat’. Pada akhirnya, sepakbola perempuan memang masih dimainkan, sebagian dengan sembunyi-sembunyi karena ada larangan, namun perkembangannya begitu terbatas. Sementara di saat yang sama, sepakbola laki-laki terus mengalami perkembangan dengan signifikan, dengan catatan sejarah yang begitu meriah…
***
Sepakbola perempuan baru mulai menggeliat lagi di tahun 1960an, yang mungkin juga disebabkan oleh munculnya gelombang kedua pergerakan feminisme dunia di dekade tersebut. Bahkan, sebuah gelaran Piala Dunia perempuan yang tak resmi sempat diadakan pada tahun 1970 di Italia dan 1971 di Meksiko. Benua Asia juga tak mau kalah. Pada tahun 1978, Asosiasi Sepakbola Cina-Taipei mengadakan World Women’s Invitational Football Tournaments, sebuah turnamen yang mengundang timnas-timnas perempuan negara-negara di dunia untuk ikut serta.  Hebatnya, turnamen ini bisa dilangsungkan secara reguler setiap tiga tahun sekali sampai tahun 1987. Tiga tahun sebelum gelaran perdana turnamen ini, Asian Ladies Football Confederation juga mengadakan Piala Asia untuk sepakbola perempuan untuk pertama kalinya.

FIFA baru benar-benar bergerak untuk memberikan wadah turnamen kelas dunia bagi sepakbola perempuan di akhir tahun 1980an tersebut. Itupun baru dilakukan setelah serangkaian desakan yang muncul dan menguat pada FIFA, salah satunya dari Ellen Wille, seorang delegasi dari Norwegia yang menghadiri Kongres FIFA ke-45 di Mexico City. Saat kongres berlangsung, Wille merebut mik lalu mengungkapkan tuntutannya dengan lantang, dengan mengatasnamakan federasi negaranya dan semua pesepakbola wanita, agar FIFA lebih memperhatikan dan mempromosikan sepakbola perempuan. Sebuah tuntutan yang membuat banyak laki-laki di kongres tersebut terperangah.

“Saya sudah berjuang untuk membuat sepakbola perempuan diakui di Norwegia, dan saya ingin melanjutkan perjuangan itu secara internasional,” katanya, dalam sebuah wawancara di tengah perhelatan Piala Dunia Wanita 2011 di Jerman. “Saya naik ke panggung di Kongres FIFA, dan menunjukkan bahwa sepakbola perempuan tidak dibicarakan sama sekali di dokumen manapun. Saya juga mengatakan bahwa sudah saatnya perempuan memiliki Piala Dunia mereka sendiri dan ambil bagian di turnamen sepakbola di Olimpiade.”
Sempat perlu diadakan sebuah Piala Dunia ‘rintisan’ di Cina pada tahun 1988 sebelum FIFA benar-benar berani melangsungkan Piala Dunia Perempuan perdana pada tahun 1991, juga di Cina. Bahkan ketika itu pun FIFA masih sedikit ragu sehingga istilah ‘Piala Dunia’ belum benar-benar diberikan oleh FIFA, dan harus menggunakan istilah ‘1st FIFA World Championship for Women's Football for the M&M's Cup’ (M&M’s adalah produk dari Mars, Inc., sponsor utama gelaran perdana tersebut).

Tapi setidaknya turnamen itu sukses dan ucapan Wille terbukti. Sepakbola perempuan memang memiliki daya tarik dan potensi yang selama ini tersembunyi karena keangkuhan para lelaki. Piala Dunia 1991 menjadi tonggak baru dalam sejarah sepakbola perempuan di muka bumi, karena setelah itu, perkembangannya memang begitu pesat. Elle Wille pun pantas disebut sebagai pahlawan sepakbola perempuan di era modern berkat perlawanannya yang berujung pada diterimanya sepakbola perempuan di badan sepakbola tertinggi di dunia, layaknya Honeyball yang mendapatkan predikat sebagai pionir sepakbola perempuan karena perlawanannya dulu. Sesuatu yang Wille sadari sepenuhnya.

“Di negara saya, mereka menyebut saya ibu sepakbola perempuan Norwegia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar