Cinta Dalam Anarkisme Sepakbola
By Eddward Samadyo Kennedy
Syahdan, pada tahun 1950, terdapat seorang anak muda berusia 18 tahun dari Italia bernama Pietro Ferrua. Ia dijatuhi hukuman 15 bulan penjara oleh pemerintah lantaran dianggap melakukan makar. Tuduhan yang bukan main-main untuk anak seumurnya. Tetapi nyali Ferrua terlalu besar, kendati otot-ototnya tak selayaknya pendekar. Maka ia pun melarikan diri, kabur ke segala arah mata angin. Hingga kemudian propagandis anti negara itu singgah di Swiss.
Di Swiss yang dikenal sebagai negeri paling toleran itu, Ferrua tak lantas bertaubat jadi pemuda “baik-baik”. Ia terus menyebarkan pemikirannya, membuat lingkar diskusi, menulis banyak pamflet dan artikel, seraya bertahap membangun sebuah perpustakaan yang kebanyakan berisi literatur pemikiran anti-otoritarian. Singkat kata, di Swiss, proses intelektualisasi Ferrua berkembang pesat.
Pun demikian, para politisi Swiss yang melihat tindak-tanduknya menyerukan agar Ferrua segera angkat kaki. 13 tahun setelah tahun 1950, Ferrua pun minggat, tetapi tidak dengan pemikirannya. Pasca kepergiannya, solidaritas kolektif anarko di Swiss saling membantu untuk menyelesaikan perpustakaan yang sempat dibangun Ferrua. Hingga hari ini, perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat kajian riset itu dinamai CIRA: International Centre for Research on Anarchism, yang terletak di kota Lausanne.
Koleksi CIRA kini sudah mencakup ribuan buku, di mana di antaranya adalah buku-buku—dan juga berlembar-lembar artikel—karangan para pemikir anarkis seperti Peter Kropotkin, Mikhael Bakunin, atau Emma Goldman. Tetapi tak hanya itu, di CIRA Anda juga dapat menilik dokumen Paris Comune 1871, poster-poster asli Spanish Revolution yang dibuat oleh para seniman Catalonia, surat-surat kabar bawah tanah yang dibuat oleh imigran Italia dan terbit secara berkala sejak tahun 1922-1971, hingga segala informasi tentang Freetown Christania, barisan orang yang memproklamirkan diri sebagai masyarakat otonom di Copenhagen, yang dulu pernah menjadikan pangkalan militer di sana sebagai “kampung halamannya”.
Satu hal menarik yang dapat dijumpai di CIRA adalah pamflet "Anarchist Football (Soccer) Manual". Sebuah pamflet yang diinisiasi oleh Gabriel Kuhn (seorang mantan pesepakbola semi profesional yang kemudian beralih menjadi seorang intelektual anarkis Austria pada tahun 1990. Anda dapat membaca bukunya yang berjudul Soccer vs. the State: Tackling Football and Radical Politics) dan kolektif Alpine Anarchist Productions.
Munculnya pamflet ini sendiri pada Piala Dunia 2006 lalu. Jika Anda sekarang menahbiskan diri sebagai aktivis “Against Modern Football”, maka integritas perlawanan Anda bisa diragukan jika belum pernah membaca pamflet tersebut. "Anarchist Football (Soccer) Manual" berisi seruan untuk menolak sepakbola modern yang dianggap dikendalikan oleh kalangan menengah atas demi komersialisasi dan kepentingan kapital. Lebih dari itu, para penggagas "Anarchist Football (Soccer) Manual" menilai bahwa industrialisasi sepakbola saat ini telah mengeksploitasi daya saing alamiah manusia, yang kemudian mengikis rasa solidaritas antar sesama individu/kolektif.
Sejatinya, upaya awal “Against Modern Football” yang digagas dalam "Anarchist Football (Soccer) Manual" adalah bukan dengan memboikot segala produk klub sepakbola dan menolak menonton ke stadion, tetapi justru dengan ide unik yang radikal: menolak bermain bola secara kompetitif. Apa maksudnya “bermain bola tidak kompetitif”? Bagaimana pula bentuk permainannya?
Penjelasan teknisnya adalah mulailah bermain bola secara tradisional. Maksudnya, silahkan ajak sebanyak mungkin orang untuk bermain dengan cara "open-ended pick-up games" untuk bersenang-senang. Siapa saja dapat ikut bermain sampai mereka merasa bosan. Untuk mengurangi “loyalitas” berlebih kepada salah satu tim, setiap pemain dipersilahkan untuk bermain untuk tim lawan. Singkat kata: ciptakan sepakbola murni sebagai sebuah permainan, bukan persaingan. Kesenangan, tanpa kebencian.
Sejatinya, jauh sebelum Kuhn dkk. menawarkan cetak biru “anarkisme dan sepakbola”, barisan pemikir anarkis di Argentina pada tahun 1908 telah lebih dulu membentuk sebuah klub bernama Atlético Libertarios Unidos (Libertarians United), sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang menganggap mereka subversif.
Dua tahun sebelumnya, sebuah klub bernama Argentinos Juniors juga didirikan oleh para martir Anarkis di Argentina sebagai bentuk kehormatan para pejuang Haymarket anarchists dan Chacarita Juniors. Dengan semboyan “In soccer you learn how to act in solidarity”, Argentinos Juniors memakai seragam berwarna merah-hitam sebagai simbol perlawanan. Warna seragam yang di kemudian hari juga turut dipakai klub sepakbola anarkis lain di Uruguay bernama Progreso Uruguay.
Di tahun 1912, mereka yang merasa sebagai bagian dari kelas pekerja miskin di Kroasi juga menggagas ide yang sama dengan mendirikan sebuah klub bernama RNK Split of Croatia. Selain sebagai tempat untuk bermain bola sesama pekerja, RNK Split of Croatia juga turut berperan dalam persebaran ide-ide anarkis ke segenap pekerja lain.
Sementara itu, seperti Saint Pauli, FC United of Manchester juga didirikan dengan itikad anarkisme yang kuat. Mereka menamainya Spirit of Shankly, dengan jargon: “I dont have to sell my soul”. Baik suporter kedua klub yang bermarkas di Jerman dan Inggris itu sama-sama paling vokal dalam menyerukan pesan-pesan “Against Modern Football”: bahwa (sebuah klub) sepakbola harus didasari pada kepentingan penggemar, bukan sekadar sebagai pabrik pencetak fulus dan sekrup kapitalisme.
Karena militansi suporternya tersebut, FC United of Manchester pun disebut sebagai “Punk of Football”. Entah kebetulan atau tidak, FCUM pun menamai konsep manajerial keuangan mereka dengan slogan: “punk finance”, yaitu cara mendanai klub tanpa masukan dari bank-bank maupu korporasi besar. Sungguh berbeda dengan Manchester United Football Club...
Di Bradford, para anarkis di sana juga turut membuat sebuah turnamen sepakbola berdasarkan 12 tim tiap hari Mayday. Hal tak jauh berbeda dilakukan klub-klub di Bristol, seperti Cowboys Easton dan Cowgirls, yang berisikan para pemain dari masyarakat sekitar. Pada Piala Dunia 1998, Cowboys Easton dan Cowgirls bahkan menyelenggarakan turnamen “Piala Dunia” tandingan. Momen tersebut lantas mendunia hingga membuat Subcomandante Marcos, salah seorang aktivis Zapatista, mengundang mereka dalam turnamen sepakbola yang mereka bentuk sendiri di Chiapas, Mexico.
Kini Anda sepatutnya telah mengerti bahwa anarkisme dan sepakbola bukan sesuatu yang berjauhan, atau dua hal yang memiliki simbiosis mutualisme dalam melahirkan chaos di tribun, bangku-bangku yang dibakar di stadion, atau pengrusakan pintu tiket. Anarkisme adalah sebuah sikap kemerdekaan, bukan pembangkangan, terlebih kejahatan. Memang, tak dapat dipungkiri bahwa sejarah anarkisme dalam perjuangannya kerap bersinggungan dengan kekerasan, termasuk dalam lingkup sepakbola.
Akan tetapi, terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar