By Pangeran Siahaan
Praktis dalam sebulan terakhir sebagian besar dari 24 jam waktu saya dalam sehari habis untuk Murakami dan sepak bola. Bahkan Murakami mulai berani-beraninya mengalihkan fokus saya dari sepak bola.
Beberapa hari yang lalu saat saya sedang berjalan tak tentu arah di Orchard Road, saya masuk ke sebuah toko sepak bola yang bukan langganan saya. Seperti halnya window shopper teladan yang kerap membolak-balik etalase tanpa ada maksud untuk membeli, saya melihat beberapa jersey sepak bola tergantung. Saya mencoba melihat apakah ada jersey Southampton atau Swansea di sana dengan harapan tipis karena memang jersey kedua klub hipster tersebut tak masuk Asia tenggara.
Lalu tak sengaja saya tiba di sebuah seksi yang khusus memuat jersey-jersey MLS. Ini jersey-jersey yang tak dimiliki orang banyak dan alangkah hipsternya jika saya memiliki salah satunya. Dengan cekatan saya memilih-milih antara jersey Columbus Crew, Toronto FC, Real Salt Lake, dan Portland Timbers. LA Galaxy tak saya acuhkan karena sudah tidak hipster lagi.
Tapi satu jersey yang menarik perhatian saya adalah jersey New England Revolution. Klub ini bukan klub besar, bahkan untuk ukuran MLS, tapi desain jerseynya membuat saya terperangah sejenak. Di bagian dada sebelah kiri ada lambang klub yang bergambar artwork bendera Amerika yang dimanipulasi sedemikian rupa. Di bagian tengah, tempat biasanya bertengger nama sponsor, tertulis kata “Revolution”.
Fakta bahwa yang tertera di situ bukan nama sponsor bisa diatributkan pada ketidakmampuan New England Revolution untuk menarik sponsor yang mau memberi uang dengan kompensasi terpampang di jersey. Tapi yang membuat saya tertarik, kapan terakhir kali ada klub sepak bola yang menaruh nama klubnya sendiri di tengah-tengah jersey yang notabene adalah lahan iklan bonafid?
Salah satu alasan keengganan beberapa orang membeli jersey sepak bola adalah mereka ogah berpartisipasi dalam skema bisnis sepak bola modern dan menjadi papan iklan berjalan. Tapi memang jersey sepak bola adalah sebuah lahan iklan yang menggiurkan. Rekan-rekan saya yang lain bisa menghitung kalkulasi matematis dari harga rata-rata beriklan di jersey sebuah klub, tapi bahkan tanpa angka-angka tersebut, anda tahu bahwa beriklan di jersey sebuah klub (terlebih klub besar) adalah alat bisnis yang efektif.
Beriklan di jersey sepak bola bukan hanya membuat nama produk anda terpampang di dada para pemain dalam pertandingang yang disiarkan ke seluruh dunia, tapi juga akan terpampang di dada para fans yang membeli jersey tersebut sebagai sebuah merchandise keagamaan. Mereka akan dengan senang hati memakai jersey tersebut dan tak keberatan untuk menjadi papan iklan berjalan. Ini hebatnya sepak bola modern.
Maka tak heran jika jersey sebuah klub sepak bola dewasa ini didefinisikan oleh sponsor yang terpampang di dada. Mereka yang besar di tahun 90an langsung bisa membedakan bahwa jersey itu Manchester United jika bertuliskan Sharp dan Liverpool bisa bertuliskan Carlsberg. Jika bukan Sharp dan bukan Carlsberg, maka itu pasti jersey klub lain.
Tak heran ketika United berganti sponsor dari Sharp ke Vodafone, maka kita harus melakukan penyesuaian visual. Kita tak biasa melihat jersey United bersponsor lain.
Karena sponsor mendapat porsi yang lebih besar di jersey, jauh lebih besar dari lambang klub, maka sponsor-sponsor di dada inilah yang mendefinisikan jersey klub.
Jika kita melihat orang dari kejauhan berbaju biru dan bertuliskan Pirelli di dada, kita langsung sadar bahwa itu adalah jersey Inter Milan. Ada jersey bergaris hitam-putih, apakah itu jersey Juventus atau Newcastle United? Lihat saja sponsornya apakah Jeep atau Virgin.
Sama seperti jersey Manchester City dan Lazio, keduanya sama-sama berwarna biru muda dan dari dekat anda bisa melihat lambang kedua klub. Tapi dari jarak 50 meter, yang menjadi pembeda apakah jersey tersebut bertuliskan Etihad atau tidak.
Ukuran logo klub yang jauh lebih kecil dibanding logo sponsor seperti menyiratkan bahwa ruang kepentingan yang dimiliki keduanya pun berbeda. Klub menyediakan ruang besar untuk mengakomodasi sponsor dan karena keduanya saling membutuhkan, maka ini adalah sebuah simbiosis mutualisme. Tapi fans harus menerima bahwa dalam jersey yang merupakan identitas sebuah klub, dan dengan sendirinya menjadi identitas dari para fans, sponsorlah yang mendapat sorotan terbesar, bukan klub.
Karena ini sudah berlangsung lama, maka kita menganggap kenyataan ini sebagai sesuatu yang taken for granted. Memang demikian adanya. Alamiah.
Seperti kata Murakami, jangan biarkan penampilan menipu anda karena segala sesuatu tidak terlihat seperti sebenarnya. Hanya ada satu realitas dan realitas itu adalah sponsorlah yang mendefinisikan jersey sebuah klub.
Jika ada yang mengatakan sebaliknya, maka anda tinggal menyuruh orang itu untuk menengok sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar