Kamis, 12 Februari 2015

Komik Bola, Guilty Pleasure Saya

By Ranaditya Alief,

 

83Ozora.Tsubasa.full.310672.jpg Pertandingan final Piala Dunia U-20 memasuki injury time. Dengan skor 1 - 2 untuk tim tuan rumah Jepang, pelatih tim Brazil memasukkan seorang pemain baru untuk mengejar ketertinggalan. Namun, alih-alih menyerang, pemain cadangan bernomer keramat 10 tersebut malah berjongkok mengerami bola di tengah lapangan, membuat seisi stadion heran termasuk rekan timnya sendiri. 60 detik lamanya ia memparodikan Andre Villas Boas, dan bola dibawah kakinya lenyap secara magis. Belum sempat 50,000 orang penonton berkata "terus gue musti bilang wow gitu?" tanpa sarkas, sang pemain pengganti langsung berlari ke kotak penalti tim Jepang, meloncat setidaknya dua kali lipat pelompat paling tinggi di Olimpiade, dan mengambil posisi bicycle kick. Simsalabim, bola yang tadinya hilang muncul di kakinya, dan kemudian ditendang olehnya ke rumput, menciptakan sudut pantulan yang mampu mengecoh Pythagoras sekalipun sebelum bersarang di gawang tim Jepang.

Saya berhak memanggil Anda moron bila Anda mengira peristiwa diatas benar-benar pernah terjadi di Piala Dunia U-20. Pada kenyataannya, aksi mustahil supersub tim junior Brazil tersebut berlangsung di halaman-halaman komik Captain Tsubasa World Youth, sekuel seri manga sepakbola populer Captain Tsubasa karya Yoichi Takahashi. Pencetak gol equalizer Canarinha fiktif itu bernama Natureza, dan meskipun Aozora Tsubasa dan tim Jepangnya-lah yang akhirnya menang, keduanya berkembang menjadi rival abadi di kemudian hari. Terlepas dari itu, kemunculan perdana Natureza membekas di kenangan saya karena mengandung dua hal yang membuat komik bola menjadi guilty pleasure saya.

Pertama, the football is out of this planet. Tak bisa dipungkiri lagi, goresan kuas dan daya khayal para mangaka memberikan pesepakbola imajiner mereka kemampuan untuk berulangkali mempertanyakan hukum-hukum fisika. Barangkali contoh definitifnya memang Captain Tsubasa. Selain aksi Natureza tadi, total 90 jilid Captain Tsubasa diisi berbagai macam teknik ajaib, dari tembakan yang dapat merobek jala, dribel yang membuat pembawa bolanya seolah menjadi banyak, hingga tendangan salto dua pemain kembar sekaligus yang memanfaatkan pemain lain sebagai trampolin untuk mengudara. Aksi-aksi semacam ini tidak dapat dilihat di dunia nyata kecuali Anda menonton All Star Match antara semua pemain klub top Eropa sambil melahap mushroom.

Kedua, the best is usually saved for last. Coba kita renungkan baik-baik: kecuali sang pemain terbaik sedang tidak fit 100%, mana ada tim yang sengaja menyimpan pemain terbaiknya hingga saat terakhir?  Bayangkan saja, apa jadinya bila Jose Mourinho sengaja mem-voor tim lawan dan baru memainkan Ronaldo menjelang peluit panjang final Liga Champions? Bisa jadi Ronaldo menyamakan/membalikkan kedudukan, tapi tidak mungkin tidak ada yang mempertanyakan kewarasan Mourinho.

Uniknya, di manga seperti Captain Tsubasa World Youth, perkembangan plot seperti ini justru menciptakan efek post credit scene film-film Marvel, dengan mengesankan bahwa ternyata ada sesuatu yang lebih besar dibalik permukaan cerita. Twist ini biasanya digambarkan seperti kasus Natureza tadi; begitu masuk, sang pemain baru langsung menunjukkan skill badass tanpa keringat setetes pun dan mengubah dinamika pertandingan. Sebaliknya, lawan yang dikalahkan akan tersungkur dengan wajah basah kuyup. Mau menang atau kalah, ekspresi kontras yang dihasilkan selalu 9GAG-able, sebuah poin plus besar bagi saya.

Tentu saja, dua hal ini hanyalah sebagian dari sekian banyak alasan seseorang untuk menyukai manga sepakbola. Malah, bisa jadi alasan saya menyukai manga sepakbola adalah alasan yang membuat Anda tidak menyukainya. Contohnya seperti rekan saya Pangeran Siahaan, yang tidak tahan membaca manga olahraga karena kemampuan teknik dan fisik karakternya yang dianggapnya tidak logis. Pendapat semacam ini absah-absah saja, tapi jika ada yang menggunakannya untuk mempertanyakan guilty pleasure saya, dengan enteng saya akan menjawab, "ya namanya juga fiksi brader, hehehe".

Tapi, toleransi saya bagi kadar metahuman tiap manga sepakbola tidak mengaburkan apresiasi saya kepada bagaimana manga-manga tersebut berkorelasi dengan sepakbola di dunia nyata. Popularitas sepakbola di Jepang misalnya, dapat dilihat dari jumlah manga yang mengangkat tema si kulit bundar. Entah statistik pastinya, tapi saya yakin bahwa dua olahraga beregu paling populer di Jepang, bisbol dan sepakbola, adalah dua olahraga yang paling banyak dikomikkan.

Captain Tsubasa sendiri sering disebut sebagai katalis kebangkitan sepakbola di Jepang. Manga dan animenya menginspirasi banyak anak sekolahan, baik laki-laki maupun perempuan untuk mulai menendang bola. Mungkin seharusnya cover depan tiap tankoubon-nya diberikan label peringatan don't try this at home, karena bisa saja Hidetoshi Nakata dan Yoshikatsu Kawaguchi cilik patah punggung akibat keseringan jatuh ketika mencoba tendangan salto Tsubasa. Lebih hebatnya lagi, popularitas Captain Tsubasa  meluas secara global dibawah judul Oliver and Benji. Nama-nama sebesar Del Piero, Zidane, dan Torres tercatat sebagai fans animenya ketika masih kecil. Adapun Andres Iniesta, yang tidak hanya menonton Tsubasa, tetapi juga menirukan aksi "bola adalah teman" ditengah kepungan 5 pemain Kroasia pada Euro 2012 yang lalu.

Bila aksi Tsubasa dkk terlalu mengawang bagi logika Anda, saya menganjurkan Our Field of Dreams (Muraeda Kenichi) dan Fantasista (Kusaba Michiteru) sebagai alternatif yang lebih realistis, tetapi memiliki skala cerita yang sama-sama mencakup perjalanan sang protagonis utama dari kecil hingga dewasa mengenakan seragam Nippon Daihyo. Tidak hanya lebih believable, kedua manga ini juga memiliki relevansi dunia nyatanya masing-masing.

Our Field of Dreams memperkenalkan saya dengan peristiwa Doha no higeki (Tragedi Doha), yaitu gagalnya timnas Jepang masuk putaran final Piala Dunia 94 akibat kebobolan di injury time melawan Iraq pada pertandingan terakhir kualifikasi. Tragedi Doha ini sering disebut di berbagai manga sepakbola, tetapi tidak pernah disorot seekstrim di Our Field of Dreams, yang menggambarkan bagaimana beberapa anggota senior timnas Jepang kerap trauma akan menit-menit terakhir pertandingan tersebut. Efek psikologis dari Tragedi Doha diceritakan memotivasi timnas Jepang untuk mengadopsi metode ekstrim dalam upaya lolos ke Piala Dunia berikutnya: membagi timnas menjadi dua tim dan bertarung satu sama lain untuk hak mewakili Jepang.

Di sisi lain, Fantasista membuat saya yang notabene hanya mengikuti EPL menjadi lebih akrab dengan peristilahan sepakbola Italia, termasuk istilah Fantasista itu sendiri. Bertutur mengenai perjalanan karir Teppei Sakamoto sebagai calon fantasista masa depan Jepang, manga karya Kusaba Michiteru ini menyelipkan beragam topik diskusi, termasuk debat dibutuhkannya atau tidak seorang fantasista dalam taktik sepakbola modern. Warna Azzuri yang kental pada manga ini juga dihiasi aksen Rossoneri. Bila Anda seorang Milanisti, story arc yang menceritakan kiprah Teppei Sakamoto di tim primavera AC Milan bisa menjadi pelipur lara yang lumayan ketika tim Anda tidak henti-hentinya terperosok di ajang domestik.

Usai menamatkan Fantasista, Kusaba-sensei kembali ke khazanah manga sepakbola dengan Lost Man, sebuah kisah mengenai pesepakbola sebatang kara yang mengidap amnesia dan gonta-ganti tim keliling dunia untuk mengumpulkan uang. Terlepas dari over-analisis saya bahwa motif finansial ini adalah sindiran terhadap pemain masa kini, perjalanan tokoh utama Lost Man, Matsumoto cukup orisinil untuk dicermati. Terakhir saya baca, Matsumoto bergabung dengan Manchester Union, versi komik dari Manchester United, dibawah asuhan comic counterpart Sir Alex Ferguson. Kabar buruk bagi glory hunter sekalian, saya masih belum menemukan versi komik Mark Clattenburg di Lost Man.

Bila setting Lost Man adalah exception to the rule manga sepakbola Jepang, rule nomor satu adalah penggunaan bangku sekolah, khususnya SMA, sebagai setting cerita. Dalam koridor ini, plot yang biasa didaur ulang berupa cerita cinderella; bagaimana sebuah tim underdog berhasil menjungkirbalikkan semua prediksi dan melaju ke inter high, tentunya dengan modifikasi sedikit antara manga yang satu dengan yang lain. Terus terang, saya tidak tahu apakah kasusnya adalah art imitates life atau sebaliknya, tetapi dari segi cakupan, kini turnamen sepakbola SMA nasional Jepang yang disebut Fufu No Kokuritu bisa mengungguli Koshien sekalipun. Kredibilitasnya semakin terbukti dengan banyaknya scout-scout yang datang ke pertandingan, dari scout klub-klub J-League hingga scout klub selevel Arsenal pada kasus Ryo Miyaichi.

Terkait dengan itu, ada dua manga sepakbola SMA yang lumayan laris di Indonesia, yaitu Shoot! (Ooshima Tsukasa) dan Offside (Heiuchi Natsuko). Shoot! menceritakan sepak terjang tiga sahabat karib, Toshi, Kazuhiro, dan Kenji yang berjanji untuk membawa tim bola SMA Kakegawa ke kejuaraan nasional untuk menghormati mendiang Kapten Kakegawa, Kubo Yoshiharu, yang meninggal akibat setelah pertandingan. Walaupun saya bukan penggemar terbesar Shoot! karena artworknya yang semenjana, aksi solo Kubo yang mencetak gol setelah melewati 11 pemain sebelum terkapar dan line paling sentimental nan brillian dalam semua manga sepakbola, "apakah kau suka sepakbola?" adalah alasan valid untuk membaca manga tersebut.

Lalu, meski tidak selaku Shoot!, Offside memberikan perspektif mengenai bagaimana seorang pemain bola dapat berganti posisi seiring perkembangannya. Bintang utamanya adalah Goro Kumagaya yang berpostur bongsor. Pada awalnya, Goro bermain sebagai kiper SMA Kawasaki, sebelum bergeser menjadi pemain tengah box to box ala Steven Gerrard. Layaknya Kapten Liverpool tersebut, senjata utama Goro adalah tendangan jarak jauhnya yang kencang.

Dewasa ini, pewaris Shoot! dan Offside adalah Area no Kishi (Igano Hiroaki & Kaya Tsukiyama). Area no Kishi/Knight of The Area mengisahkan Aizawa bersaudara. Yang kakak, Suguru, merupakan bintang timnas U-15 Jepang, sedangkan yang adik, Kakeru, telah berhenti bermain bola. Ketika keduanya ditabrak truk, Aizawa meninggal, dan jantungnya ditransplantasi ke dalam tubuh Kakeru. Dengan jantung dari kakaknya, Kakeru kembali ke lapangan hijau guna mewujudkan mimpi almarhum Aizawa untuk memenangkan Piala Dunia. Untungnya, perkembangan cerita Area no Kishi tidak melulu melankolis, tetapi juga taktis. Ini dikarenakan bagian integral dari klub SMA Enoshima tempat Kakeru bermain adalah pembuatan keputusan sang pelatih Iwaki. Menjelang dan selama tiap pertandingan berlangsung, berbagai macam formasi dan gaya bermain sepakbola dibedah dan ditindaklanjuti. 3-5-2, 4-4-2, defensive line, total football, semua disorot.

Akan tetapi, tidak akan ada manga yang bisa menjadi numero uno dalam segi taktik selama bintang utamanya bukan pelatih, dan itulah kenapa spot khusus saya berikan kepada manga tentang pelatih sepakbola, Giant Killing (Tsunamoto Masaya). Dari judulnya dapat ditebak bahwa manga ini memusatkan fokus pada tim kecil yang membantai tim-tim besar. Di Giant Killing, tim yang kecil tersebut adalah East Tokyo United (ETU), klub fiktif J-League. Bertahun-tahun terperosok di papan bawah, ETU berpaling pada sosok eksentrik Tatsumi, eks-pemain ETU yang membahwa tim amatir di Inggris mengalahkan tim-tim divisi atas di Piala FA.

Konflik muncul ketika Tatsumi kembali melatih tim lamanya untuk pertama kalinya. Sebagian fans ETU menolak kehadirannya; kepergiannya sebagai pemain dinilai sebagai akar penyebab semua masalah ETU. Pemain-pemain ETU yang tua keberatan dengan metode-metode kepelatihannya yang tidak lazim. Untuk memilih tim inti misalnya, Tatsumi menggunakan skor dari turnamen tenis sepakbola kecil-kecilan. Belum lagi gaya Tatsumi berinteraksi dengan pelatih tim lain dan media. Cuek dan karismatik, seperti The Special One. Akan tetapi, diatas lapangan kejeniusan Tatsumi tidak dapat diganggu gugat. Meskipun mengalami slow start, lambat laun tim ETU merangkak naik klasemen, tentunya sambil menggasak beberapa tim besar J-League dalam prosesnya.

Diluar segelintir manga-manga sepakbola yang telah saya jabarkan, masih ada berjubel judul-judul lainnya yang tak kalah seru, diantaranya Angel Voice (Koyano Takao) yang memasukkan elemen berandal sekolah, Whistle! (Higuchi Daisuke), yang membahas sepakbola di taraf SMP, dan Mirai No Football (Yamatoya Eko) yang memasukkan elemen time travel dan mendamparkan tokoh utamanya di tim sepakbola Inggris abad ke-19. Saking banyaknya komik bola, saya dengan mudah bisa mengatakan bahwa para otaku spoilt for choice.

Sebagai catatan kaki, ketika menilik paralel antara riuhnya komik sepakbola Jepang dengan kondisi sepakbola Jepang, saya membayangkan seandainya Indonesia memiliki komik sepakbola yang bervariasi dan berkualitas. Mungkin saya akan mendapat guilty pleasure baru, dan mungkin akan ada cikal bakal pemain bola masa depan yang terinspirasi. Tapi sejujurnya, saya rasa pengaruhnya tidak akan sebegitunya, karena tanpa komik pun sepakbola sudah menjadi olahraga paling populer di tanah air. Lantas saya berpikir lebih keras lagi dan sampai pada suatu kesimpulan. Mungkin yang dibutuhkan Indonesia adalah komik tentang pejabat sepakbola yang bersih dan tidak haus kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar