By Eddward Samadyo Kennedy
Anda
pasti memiliki banyak fantasi dalam hidup, sama seperti saya. Mulai
dari fantasi seksual (bercinta dua lawan satu dengan Madelyn Marie dan
Sora Aoi di meja kantor, misalnya), hingga fantasi dalam dunia
sepakbola. Bagaimana bentuk fantasi dalam dunia sepakbola? Sejauh yang
saya ketahui, fantasi dalam sepakbola dapat mewujud dalam beberapa poin
berikut: taktik tim, gaya bermain individu, atraksi suporter, kerusuhan
sebuah laga, hingga aktivitas dalam bursa transfer. Karena menjelaskan
semua hal tersebut dalam artikel ini sama saja seperti mengetik ulang
novel Musashi-nya Eiji Yoshikawa alias akan sangat panjang, maka, dengan
penuh tawaqal kepada Tuhan yang Maha Esa, saya hanya akan mencatut poin
terakhir: fantasi dalam aktivitas bursa transfer.
Saya memiliki begitu banyak fantasi dalam bursa transfer, bahkan cenderung sangat liar. Bagaimana misalnya Barcelona memiliki Andrea Pirlo, apa jadinya jika Paolo Maldini dan Javier Zanetti bertukar klub, seandainya Paul Scholes pernah hijrah ke AC Milan, hingga macam apa keganasan Persipura jika Zlatan Ibrahimovic mendadak mau mengakhiri karirnya di tanah Papua. Daftar fantasi ini masih bisa saya perpanjang lagi, tetapi lebih baik tak usah. Sebab, “sesuatu yang berlebihan itu hanya akan melahirkan kesia-siaan”, demikian petuah motivator ternama asal Uganda, Idi Amin.
Tentu saja fantasi liar saya tersebut akan sangat musykil terjadi dalam realitas nyata. Untuk mengakalinya, saya memilih menggunakan media Playstation, di mana saya dapat memindahkan pemain mana saja yang saya sukai ke klub yang ingin saya mainkan. Kebiasaan asik tersebut tetap saya pelihara hingga bulan-bulan belakangan ini. Salah satu aktivitas perpindahan pemain seenak jidat yang saya lakukan adalah mencomot Neymar dari Santos ke Barcelona. Nomor punggungnya: 7. Saya kira, gaya bermain Neymar—yang kerap berperan sebagai inverted winger di sisi kiri—memiliki kecocokan untuk skema tiga penyerang Blaugrana. Tetapi ingat, itu hanya di Playstation.
Playstation, sebagaimana konsol permainan lain, adalah sebuah “sub-realitas” atau dunia yang “separuh nyata”. Ketika bermain Playstation, imajinasi Anda akan merasuk ke dalam layar kaca melalui gerak jari yang menekan stik, Anda akan termangu berjam-jam, mencaci kesalahan yang sebetulnya Anda buat sendiri, dan terheran-heran dengan gerakan spektakuler yang, sebenarnya juga berasal dari jari Anda sendiri. Tetapi, Anda akan tetap terpukau kendati telah memainkannya ratusan kali dan juga telah menyadari bahwa hal tersebut hanyalah rekayasa teknologi. Itulah dunia “sub-realitas”, atau meminjam istilah Jean Baudrillard: 'Simulacra', sebuah simulasi atas realitas.
Melalui bukunya “Simulacra and Simulations”, Baudrillard menjelaskan bahwa 'simulacra' adalah ruang di mana mekanisme simulasi berlangsung. Dalam konteks perkembangan teknologi virtual—untuk hal ini adalah Playstation—Anda sejatinya telah dijebak dalam ruang realitas seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Bahwa teknologi, kata Baudrillard, bukan lagi sekadar perpanjangan tubuh atau sistem syaraf manusia, tetapi realitas baru dengan citra buatan dan menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi yang menjadi kenyataan, yang dapat melipat realitas ke dalam sebuah memory card atau flashdisk.
Menyenangkan, bukan? Tentu saja. Tetapi apakah efek terburuk dari 'simulacra'? 'Hiperrealitas': ketika masyarakat secara serempak telah meyakini bahwa realitas di dalam Playstation atau televisi-lah yang benar, yang nyata, bukan realitas yang terjadi sesungguhnya di sekitar mereka. Contoh yang paling sering dijadikan penjelasan dalam situasi terburuk dari 'hiperrealitas' adalah stereotipe fisik wanita yang digilai pria seperti dalam banyak iklan-iklan produk kecantikan.
Bahwa wanita cantik haruslah berambut lurus dan panjang, bertubuh sintal, tinggi semampai, syukur-syukur memiliki nafsu seksual seliar Alexis Texas di film-film produksi Brazzers. Sementara untuk pria, mereka yang dikejar-kejar wanita adalah yang bertubuh tegap, berdada bidang dan memiliki perut kotak-kotak seperti tetris. Lantaran banyak yang mengimani hal tersebut, maka tak usah heran jika di hari ini salah satu tempat yang paling sesak bukan lagi pada terminal atau stasiun, tetapi juga mal atau gym. Anda pria atau wanita gemuk, pendek, hitam, kumal, dan penyakitan? Segera serukan boikot pada produk-produk David Beckham atau Angelina Jolie.
Nah,
'simulacra' dalam bentuk 'hiperrealitas' pun juga mewujud dalam bursa
transfer pemain sepakbola. Bagaimana bentuknya? Contoh paling nyata
adalah ketika Florentino Perez mendatangkan David Beckham ke Real Madrid
dari Manchester United 2003 silam, kendati saat itu di posisi yang
sama—sayap kanan—sudah bercokol nama Luis Figo, yang secara teknik
berkali-kali lipat jauh lebih bagus dari Beckham. Secara taktikal,
pembelian Beckham jelas sia-sia, tetapi orang pintar yang minum Tolak
Angin pasti paham bahwa tujuan Perez memboyongnya bukan untuk meraih
trofi, melainkan sebagai brand, image, citra bagi Madrid.
Kedatangan Beckham ke Santiago Bernabeu adalah, seperti dalam istilah Baudrilaard, sebuah 'pseudo-event' yang lantas membuat silang-sengkarut antara hakikat utama dalam sepakbola itu sendiri seperti taktik, strategi, atau semangat merebut trofi dengan wacana simulasi. Inisiatif Perez memboyong Beckham itulah yang membawa Madrid ke dalam ruang 'hiperrealitas', bahwa Madrid dalam imaji Perez sebuah klub yang bukan hanya berisikan pemain-pemain terbaik, tetapi juga ikon-ikon sepakbola dunia. Sebuah fantasi yang kita kenal dengan nama: Los Galacticos.
Logika yang sama kembali dijalankan Perez ketika ia membangun Los Galacticos jilid II dengan memboyong Kaka dan Cristiano Ronaldo di tahun yang sama: 2009. Semua hal sejatinya berjalan baik hingga kemudian ia mendatangkan Jose Mourinho. Lupakan dulu apa yang terjadi di luar Madrid, seperti Barcelona-nya Pep Guardiola yang mengembalikan sepakbola kepada hakikatnya dan berhasil meluluhlantakkan Los Blancos berkali-kali.
Ada sebuah pepatah Aljazair (tentu saja ini saya karang sendiri) yang menyebutkan bahwa menempatkan dua megalomaniak dalam kandang yang sama adalah hal yang salah. Itulah yang terjadi di Madrid era Mourinho. Sekuat apapun Mourinho merebut perhatian media agar anak buahnya tak terganggu dan dapat bermain maksimal, tetap saja Ronaldo selalu asik diliput. Begitu pun sebaliknya: seheboh apapun Ronaldo caper kepada media, kata-kata yang keluar dari mulut Mourinho kerap ditunggu-tunggu. Secara taktik, Madrid tetap menjadi predator, tetapi dalam logika bisnis, mempertahankan keduanya adalah bunuh diri. Salah satu harus ada yang minggat, dan kita tahu siapa yang akhirnya pergi di antara Mourinho dan Ronaldo.
Nuansa 'hiperrealitas' pun juga kerap hadir di klub seteru Madrid: Barcelona. Akan tetapi, berbeda dengan Madrid yang mengedepankan citra di luar konteks permainan sepakbola, 'hiperrealitas' Barca justru hadir di atas lapangan melalui pemain-pemain mereka. Tengoklah maestro-maestri jebolan Barca: Johan Cruyff, Diego Maradona, Ronaldo (Brazil), Ronaldinho hingga kini Lionel Messi. Fantasi yang ditujukan mereka adalah fantasi dari kaki ke kaki, liukan-liukan artistik, umpan-umpan magis, hingga pesona taktikal yang aduhai indahnya.
Ronaldinho, misalnya. Dalam wacana 'simulacra' komersial saat ini, membandingkan Ronaldinho secara fisik dengan Beckham adalah dagelan yang selalu lucu. Jika Beckham adalah matahari tenggelam yang selalu ditunggu banyak fotografer, maka Ronaldinho adalah pedagang kaki lima yang sering diusir paksa Satpol PP dengan alasan: “merusak pemandangan”. Anda boleh marah, tetapi seluruh wanita di dunia ini akan mencambuk Anda.
Kendati demikian, siapa saja tentu setuju bahwa skill olah bola Ronaldinho membuatnya seperti lukisan Corner of the Garden at Montgeron karya Claude Monet: penuh impresi, berwarna, bercahaya. Seperti itulah Ronaldinho saat bermain. Ia juga adalah salah satu keberhasilan 'simulacra' Barcelona dalam upaya menandingi kekuatan fulus Madrid pada bursa transfer. Dan, tentu saja, kemenangan Barca atas (ketampanan) Beckham.
Kini, saya terkejut bahwa Barca ternyata benar-benar mendatangkan Neymar, si “Justin Bieber of Football” kata Joey Barton. Dugaan saya, Barca sepertinya tengah menerapkan metode yang sama seperti saat mendatangkan Ronaldinho. Dengan usia yang masih 21 tahun dan teknik yang luar biasa, Neymar jelas menjadi paket lengkap bagi Barca untuk merebut citra Madrid.
Akan tetapi, kritikan kepada Barca justru datang lantaran mendatangkan Neymar. Salah satunya dari Cruyff, yang menyebut bahwa secara taktik, hadirnya Neymar hanya akan merusak skema “Messi-sentris”. Saya pribadi menolak sepakat dengan Cruyff. Buktinya saya asik-asik saja memainkan Barca di FIFA 2013 dengan tridente Neymar-Messi-Pedro. Hello, Cruyff, IQ?
Sejatinya, masih ada banyak cerita tentang 'simulacra' dan bentuk 'hiperrealitas' lain dalam bursa transfer, atau dalam jagat sepakbola yang tak dapat dijabarkan di sini. Pada akhirnya, sepakbola (olahraga) bukan lagi soal taktik atau strategi, raihan trofi atau medali, tetapi, seperti yang pernah ditulis Baudrilaard dalam The Transparency of Evil: “Sport itself … is no longer located in sport as such, but instead in business, in sex, in politics, in the general style of performance.”
Oh, iya, kira-kira kalau Mario Balotelli hijrah ke Madura United cocok ga, ya?
Saya memiliki begitu banyak fantasi dalam bursa transfer, bahkan cenderung sangat liar. Bagaimana misalnya Barcelona memiliki Andrea Pirlo, apa jadinya jika Paolo Maldini dan Javier Zanetti bertukar klub, seandainya Paul Scholes pernah hijrah ke AC Milan, hingga macam apa keganasan Persipura jika Zlatan Ibrahimovic mendadak mau mengakhiri karirnya di tanah Papua. Daftar fantasi ini masih bisa saya perpanjang lagi, tetapi lebih baik tak usah. Sebab, “sesuatu yang berlebihan itu hanya akan melahirkan kesia-siaan”, demikian petuah motivator ternama asal Uganda, Idi Amin.
Tentu saja fantasi liar saya tersebut akan sangat musykil terjadi dalam realitas nyata. Untuk mengakalinya, saya memilih menggunakan media Playstation, di mana saya dapat memindahkan pemain mana saja yang saya sukai ke klub yang ingin saya mainkan. Kebiasaan asik tersebut tetap saya pelihara hingga bulan-bulan belakangan ini. Salah satu aktivitas perpindahan pemain seenak jidat yang saya lakukan adalah mencomot Neymar dari Santos ke Barcelona. Nomor punggungnya: 7. Saya kira, gaya bermain Neymar—yang kerap berperan sebagai inverted winger di sisi kiri—memiliki kecocokan untuk skema tiga penyerang Blaugrana. Tetapi ingat, itu hanya di Playstation.
Playstation, sebagaimana konsol permainan lain, adalah sebuah “sub-realitas” atau dunia yang “separuh nyata”. Ketika bermain Playstation, imajinasi Anda akan merasuk ke dalam layar kaca melalui gerak jari yang menekan stik, Anda akan termangu berjam-jam, mencaci kesalahan yang sebetulnya Anda buat sendiri, dan terheran-heran dengan gerakan spektakuler yang, sebenarnya juga berasal dari jari Anda sendiri. Tetapi, Anda akan tetap terpukau kendati telah memainkannya ratusan kali dan juga telah menyadari bahwa hal tersebut hanyalah rekayasa teknologi. Itulah dunia “sub-realitas”, atau meminjam istilah Jean Baudrillard: 'Simulacra', sebuah simulasi atas realitas.
Melalui bukunya “Simulacra and Simulations”, Baudrillard menjelaskan bahwa 'simulacra' adalah ruang di mana mekanisme simulasi berlangsung. Dalam konteks perkembangan teknologi virtual—untuk hal ini adalah Playstation—Anda sejatinya telah dijebak dalam ruang realitas seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Bahwa teknologi, kata Baudrillard, bukan lagi sekadar perpanjangan tubuh atau sistem syaraf manusia, tetapi realitas baru dengan citra buatan dan menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi yang menjadi kenyataan, yang dapat melipat realitas ke dalam sebuah memory card atau flashdisk.
Menyenangkan, bukan? Tentu saja. Tetapi apakah efek terburuk dari 'simulacra'? 'Hiperrealitas': ketika masyarakat secara serempak telah meyakini bahwa realitas di dalam Playstation atau televisi-lah yang benar, yang nyata, bukan realitas yang terjadi sesungguhnya di sekitar mereka. Contoh yang paling sering dijadikan penjelasan dalam situasi terburuk dari 'hiperrealitas' adalah stereotipe fisik wanita yang digilai pria seperti dalam banyak iklan-iklan produk kecantikan.
Bahwa wanita cantik haruslah berambut lurus dan panjang, bertubuh sintal, tinggi semampai, syukur-syukur memiliki nafsu seksual seliar Alexis Texas di film-film produksi Brazzers. Sementara untuk pria, mereka yang dikejar-kejar wanita adalah yang bertubuh tegap, berdada bidang dan memiliki perut kotak-kotak seperti tetris. Lantaran banyak yang mengimani hal tersebut, maka tak usah heran jika di hari ini salah satu tempat yang paling sesak bukan lagi pada terminal atau stasiun, tetapi juga mal atau gym. Anda pria atau wanita gemuk, pendek, hitam, kumal, dan penyakitan? Segera serukan boikot pada produk-produk David Beckham atau Angelina Jolie.
Kedatangan Beckham ke Santiago Bernabeu adalah, seperti dalam istilah Baudrilaard, sebuah 'pseudo-event' yang lantas membuat silang-sengkarut antara hakikat utama dalam sepakbola itu sendiri seperti taktik, strategi, atau semangat merebut trofi dengan wacana simulasi. Inisiatif Perez memboyong Beckham itulah yang membawa Madrid ke dalam ruang 'hiperrealitas', bahwa Madrid dalam imaji Perez sebuah klub yang bukan hanya berisikan pemain-pemain terbaik, tetapi juga ikon-ikon sepakbola dunia. Sebuah fantasi yang kita kenal dengan nama: Los Galacticos.
Logika yang sama kembali dijalankan Perez ketika ia membangun Los Galacticos jilid II dengan memboyong Kaka dan Cristiano Ronaldo di tahun yang sama: 2009. Semua hal sejatinya berjalan baik hingga kemudian ia mendatangkan Jose Mourinho. Lupakan dulu apa yang terjadi di luar Madrid, seperti Barcelona-nya Pep Guardiola yang mengembalikan sepakbola kepada hakikatnya dan berhasil meluluhlantakkan Los Blancos berkali-kali.
Ada sebuah pepatah Aljazair (tentu saja ini saya karang sendiri) yang menyebutkan bahwa menempatkan dua megalomaniak dalam kandang yang sama adalah hal yang salah. Itulah yang terjadi di Madrid era Mourinho. Sekuat apapun Mourinho merebut perhatian media agar anak buahnya tak terganggu dan dapat bermain maksimal, tetap saja Ronaldo selalu asik diliput. Begitu pun sebaliknya: seheboh apapun Ronaldo caper kepada media, kata-kata yang keluar dari mulut Mourinho kerap ditunggu-tunggu. Secara taktik, Madrid tetap menjadi predator, tetapi dalam logika bisnis, mempertahankan keduanya adalah bunuh diri. Salah satu harus ada yang minggat, dan kita tahu siapa yang akhirnya pergi di antara Mourinho dan Ronaldo.
Nuansa 'hiperrealitas' pun juga kerap hadir di klub seteru Madrid: Barcelona. Akan tetapi, berbeda dengan Madrid yang mengedepankan citra di luar konteks permainan sepakbola, 'hiperrealitas' Barca justru hadir di atas lapangan melalui pemain-pemain mereka. Tengoklah maestro-maestri jebolan Barca: Johan Cruyff, Diego Maradona, Ronaldo (Brazil), Ronaldinho hingga kini Lionel Messi. Fantasi yang ditujukan mereka adalah fantasi dari kaki ke kaki, liukan-liukan artistik, umpan-umpan magis, hingga pesona taktikal yang aduhai indahnya.
Ronaldinho, misalnya. Dalam wacana 'simulacra' komersial saat ini, membandingkan Ronaldinho secara fisik dengan Beckham adalah dagelan yang selalu lucu. Jika Beckham adalah matahari tenggelam yang selalu ditunggu banyak fotografer, maka Ronaldinho adalah pedagang kaki lima yang sering diusir paksa Satpol PP dengan alasan: “merusak pemandangan”. Anda boleh marah, tetapi seluruh wanita di dunia ini akan mencambuk Anda.
Kendati demikian, siapa saja tentu setuju bahwa skill olah bola Ronaldinho membuatnya seperti lukisan Corner of the Garden at Montgeron karya Claude Monet: penuh impresi, berwarna, bercahaya. Seperti itulah Ronaldinho saat bermain. Ia juga adalah salah satu keberhasilan 'simulacra' Barcelona dalam upaya menandingi kekuatan fulus Madrid pada bursa transfer. Dan, tentu saja, kemenangan Barca atas (ketampanan) Beckham.
Kini, saya terkejut bahwa Barca ternyata benar-benar mendatangkan Neymar, si “Justin Bieber of Football” kata Joey Barton. Dugaan saya, Barca sepertinya tengah menerapkan metode yang sama seperti saat mendatangkan Ronaldinho. Dengan usia yang masih 21 tahun dan teknik yang luar biasa, Neymar jelas menjadi paket lengkap bagi Barca untuk merebut citra Madrid.
Akan tetapi, kritikan kepada Barca justru datang lantaran mendatangkan Neymar. Salah satunya dari Cruyff, yang menyebut bahwa secara taktik, hadirnya Neymar hanya akan merusak skema “Messi-sentris”. Saya pribadi menolak sepakat dengan Cruyff. Buktinya saya asik-asik saja memainkan Barca di FIFA 2013 dengan tridente Neymar-Messi-Pedro. Hello, Cruyff, IQ?
Sejatinya, masih ada banyak cerita tentang 'simulacra' dan bentuk 'hiperrealitas' lain dalam bursa transfer, atau dalam jagat sepakbola yang tak dapat dijabarkan di sini. Pada akhirnya, sepakbola (olahraga) bukan lagi soal taktik atau strategi, raihan trofi atau medali, tetapi, seperti yang pernah ditulis Baudrilaard dalam The Transparency of Evil: “Sport itself … is no longer located in sport as such, but instead in business, in sex, in politics, in the general style of performance.”
Oh, iya, kira-kira kalau Mario Balotelli hijrah ke Madura United cocok ga, ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar