By Muhammad Rezky Agustyananto,
Rasanya tak ada yang
lebih memuakkan daripada mendengar sekumpulan orang bernyanyi dengan
bangga, mendeklarasikan bahwa diri mereka rasis. Berlaku rasis adalah
satu hal, tetapi bangga menjadi rasis adalah hal lainnya. Berlaku rasis
adalah tindakan bodoh, tetapi bangga menjadi rasis adalah hal yang
mengerikan.
Saya tidak tahu apa tepatnya ada di dalam kepala sekumpulan suporter Chelsea saat mereka mencegah seseorang berkulit gelap masuk ke dalam kereta bawah tanah di Paris, lalu dengan bangga bernyanyi, “We're racist, we're racist and that's the way we like it.”
Tergabung dalam sebuah kelompok terkadang bisa membuat individu merasa
memiliki kekuatan yang lebih besar ketimbang saat berdiri sebagai
individu, dan barangkali pada saat itu, sekelompok suporter Chelsea yang
melakukan tindakan hina tersebut merasa orang lain tak akan berani
melakukan apapun pada mereka saat itu, tak peduli apa yang mereka
lakukan – termasuk bertindak dan mengaku rasis sekalipun.
Dalam sosiologi, dikenal istilah perilaku kolektif (collective behavior),
yang mana memiliki salah dua teori yang bisa menjelaskan mengapa
sekelompok orang seperti suporter Chelsea di dalam kereta metro Paris di
atas bisa dan berani berlaku melewati batas. Contagion theory dari Gustavo Le Bon, sosiolog Perancis, adalah salah satunya. Lewat contagion theory,
Le Bon menjelaskan bahwa anonimitas yang dimiliki oleh anggota kelompok
(karena mereka tergabung dalam satu kesatuan kelompok sehingga
identitas yang mereka miliki adalah identitas kelompok) membuat
orang-orang di dalam kelompok menanggalkan tanggung jawab mereka sebagai
individu dan menyerahkan diri mereka kepada emosi kelompok. Menurut Le
Bon, individu cenderung mengikuti sikap dan perilaku kelompok hingga
menuju ke arah aksi-aksi yang irasional dan mengandung kekerasan.
Teori lainnya yang bisa menjelaskan perilaku kolektif adalah convergence theory.
Namun berbeda dengan contagion theory yang menjelaskan bahwa individu
di dalam kelompok cenderung irasional dan hanya mengikuti emosi
kelompok, convergence theory, yang dikembangkan oleh psikolog
Amerika, Floyd Allport, menjelaskan bagaimana kelompok justru terbentuk
karena kesatuan sikap dari individu-individu di dalamnya. Sehingga bisa
diartikan bahwa sekelompok kecil pendukung Chelsea yang bersikap rasis
dan bangga akan sikap rasisnya tersebut terbentuk karena
individu-individu di dalamnya memang memiliki kecenderungan untuk
bersikap rasis.
Meski memiliki sudut pandang yang berbeda, tetapi contagion dan convergence theory
sama-sama menunjukkan bagaimana orang-orang yang berada di dalam
kelompok memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu yang mungkin tak
mungkin mereka lakukan saat sendiri. Anonimitas yang dimiliki oleh
individu ketika berada di dalam kelompok memungkinkan hal tersebut.
Saya pribadi lebih meyakini convergence
theory sebagai teori yang lebih tepat untuk menjelaskan perilaku rasis
yang dilakukan oleh pendukung sepak bola di seluruh dunia, termasuk yang
dilakukan oleh sekelompok kecil pendukung Chelsea tadi. Bahwasannya,
hampir setiap individu di dalam kelompok yang bersikap rasis adalah
sesuatu yang sulit dibantah secara meyakinkan, meski kita tidak serta
merta bisa menyebutnya sebagai suatu fakta.
Hampir setiap individu di dunia ini,
bukan hanya para pendukung sepak bola, memiliki sifat atau kecenderungan
untuk rasis. Bagian yang membedakan mereka yang benar-benar bersikap
rasis dan mereka yang tidak adalah besarnya upaya mereka untuk menekan
keinginan untuk bersikap rasis. Sifat rasis memang tidak hadir secara
alamiah dalam diri manusia sejak lahir, tetapi konstruksi sosial membuat
sifat ini menjadi sebuah fenomena yang umum terjadi. Mereka yang sama
sekali tak memiliki sifat atau keinginan untuk bersikap atau berpikir
yang mengarah rasis hanyalah mereka yang tumbuh berkembang di lingkungan
di mana individu-individu di dalamnya berhasil menekan sifat rasis
mereka dalam-dalam sehingga tidak mempengaruhi individu yang tumbuh
berkembang tadi untuk memiliki opini atau sikap yang meyakini bahwa
rasnya lebih superior dibanding ras lain atau memiliki pemikiran
stereotipe mengenai ras-ras tertentu – tetapi apakah situasi tersebut
bisa benar-benar terjadi?
Ketika orang-orang yang memiliki
kecenderungan untuk bersikap dan berpikir bahwa ras mereka lebih
superior daripada ras yang lain berkumpul itulah yang membuat situasi
seperti yang terjadi di stasiun metro Paris tak lama menjelang
pertandingan Paris Saint-Germain vs Chelsea di Parc des Princes bisa
terjadi. Hal itu pulalah yang terjadi di tribun-tribun stadion ketika
nyanyian yang rasis terdengar.
Tetapi apakah sikap rasis hanya muncul
ketika individu berada di dalam kelompok? Tentu tidak. Terkadang,
pikiran dan sikap rasis bisa muncul secara sadar maupun tidak saat kita
sendiri, lewat pernyataan ataupun perilaku yang dilakukan. Apa yang dilakukan oleh Arrigo Sacchi bisa menjadi contoh.
Sacchi boleh saja berargumen bahwa apa
yang ia katakan terkait banyaknya pemain berkulit hitam di tim primavera
klub-klub Italia bukan sesuatu yang rasis, karena ia mengatakan hal itu
lebih untuk mengkritik soal banyaknya pemain asing di akademi klub-klub
Italia dan bukannya mengkritik jumlah pemain berkulit berwarna. Tetapi
tetap saja, ia menyebutkan dan mempermasalahkan pemain berkulit hitam,
dan hal itu bisa (atau sudah) mengarah ke arah rasisme.
Perang terhadap rasisme sepertinya
memang tidak akan pernah berakhir, selama semua individu di dunia ini
tidak pernah mampu benar-benar menekan sikap dan pikiran yang bersifat
rasis sehingga generasi selanjutnya bisa tumbuh tanpa mengenal atau
meyakini superioritas ras tertentu. Hal yang terpenting saat ini adalah
terus mengajak orang untuk menekan keinginan untuk bersikap dan berpikir
rasis, sehingga insiden seperti yang melibatkan sekelompok kecil
pendukung Chelsea di stasiun kereta bawah tanah Paris kemarin tak
terjadi lagi – terutama bagian perasaan bangga akan sikap rasis yang
benar-benar mengerikan itu.
Perlu diingat bahwa rasisme tidak hanya
terjadi di Eropa dan Amerika saja. Indonesia pun memiliki sejarah
panjang terkait rasisme, terutama menyangkut etnis Tionghoa. Untungnya,
meski belum pernah, dan mungkin tak akan pernah, sepenuhnya berhasil,
upaya untuk menekan dan menghapuskan sentimen buruk terhadap ras (atau
lebih tepatnya, etnis) Tionghoa terus menerus digalakkan, dan itu adalah
sesuatu yang positif. Misalnya saja, makin meluasnya penyebutan
Tionghoa dan Tiongkok sebagai kata ganti untuk Cina sebagai etnis/ras
dan negara (Republik Rakyat Tiongkok) menyusul Keputusan Presiden yang
dikeluarkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir masa jabatannya,
Maret 2014 lalu. Ini adalah upaya yang sangat bagus, apalagi dengan
makna peyoratif yang dimiliki istilah Cina. Saya jadi teringat wawancara
yang saya lakukan dengan salah seorang kawan Tionghoa menyangkut
penyebutan ini sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Saat itu, ia
menjelaskan mengapa Tionghoa dan Tiongkok adalah penyebutan yang lebih
baik ketimbang Cina atau China, dan bagaimana penyebutan Tionghoa itu
membuatnya merasa lebih dihargai ketimbang disebut Cina. Itu pula kali
pertama saya mulai familiar dengan penyebutan Tiongkok – sesuatu yang
lebih asing ketimbang Tionghoa, istilah yang sudah lebih banyak dipakai
oleh orang Indonesia sejak dulu. Siapa sangka, kurang dari dua tahun
setelah wawancara tersebut, SBY meresmikan kembalinya penyebutan
Tionghoa dan Tiongkok untuk menggantikan Cina atau China. Sesuatu yang
pastinya membuat Calvin He, kawan saya tersebut, sangat bahagia.
Berbicara mengenai Tionghoa, saya juga
jadi bertanya-tanya sendiri, mengapa rasanya semakin sedikit orang-orang
Tionghoa yang bermain sepak bola di Indonesia, sampai kemudian membela
tim nasional? Praktis, saat ini mungkin hanya ada nama Kim Jeffrey
Kurniawan yang benar-benar mewakili Tionghoa di timnas Indonesia. Nama
lain yang mungkin akan mengikuti jejak Kim adalah Sutanto Tan. Tetapi
secara jumlah, pemain-pemain Tionghoa kini tak lagi benar-benar mewarnai
timnas Indonesia, sesuatu yang pernah terjadi hingga tahun 1962.
Sumohadi Marsis, wartawan olahraga senior di Indonesia, pernah
mengatakan kepada BBC Indonesia,
“Sejak tahun 1962, tidak ada lagi pemain Tionghoa yang berperan besar
untuk timnas Indonesia.” Hal ini menyusul terkuaknya kasus suap dan
kekalahan memalukan di babak penyisihan Asian Games 1962, yang membuat
banyak pemain Tionghoa seperti Tan Liong Houw, pemain Tionghoa yang
berperan besar mengantarkan Indonesia ke perempat final Olimpiade 1956,
mundur. Pada dekade 1930-1950an, pemain-pemain Tionghoa memang memiliki
peranan besar bagi timnas Indonesia (dan juga Hindia Belanda di Piala
Dunia 1938). Sungguh disayangkan memang melihat surutnya jumlah pemain
Tionghoa di sepak bola Indonesia. Padahal di cabang olahraga lain
seperti bulutangkis dan basket, jumlah dan peran mereka masih begitu
besar.
Mengingat Indonesia pun sudah tak lagi
menjadi “Macan Asia” (kalaupun kita bisa mengklaim bahwa kita pernah
benar-benar menjadi macan Asia) di kancah sepak bola pasca 1960, saya
juga jadi bertanya-tanya, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan
menurunnya jumlah pemain sepak bola Indonesia beretnis Tionghoa? Tentu
saja ini hanya pikiran iseng yang tak memiliki dasar yang jelas.
Tapi, siapa tahu saja, kan?
Catatan:
Tionghoa memang lebih pas disebut etnis
ketimbang ras. Tetapi mengingat kompleksnya perdebatan mengenai etnis
dan ras, saya pun merasa tak masalah mengkaitkan masalah rasisme dengan
Tionghoa. Lagipula, Raman Grosfoguel dari University of California,
Berkeley, juga pernah menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Race and Ethnicity or Racialized Ethnicities?”
(2004), bahwa identitas rasial dan etnis adalah satu konsep dan bahwa
konsep ras dan etnisitas tidak bisa digunakan dalam kategori terpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar