Rabu, 25 Februari 2015

Rasisme, Perilaku Kolektif, dan Tionghoa





51793251_w2.jpg

Rasanya tak ada yang lebih memuakkan daripada mendengar sekumpulan orang bernyanyi dengan bangga, mendeklarasikan bahwa diri mereka rasis. Berlaku rasis adalah satu hal, tetapi bangga menjadi rasis adalah hal lainnya. Berlaku rasis adalah tindakan bodoh, tetapi bangga menjadi rasis adalah hal yang mengerikan.
Saya tidak tahu apa tepatnya ada di dalam kepala sekumpulan suporter Chelsea saat mereka mencegah seseorang berkulit gelap masuk ke dalam kereta bawah tanah di Paris, lalu dengan bangga bernyanyi, “We're racist, we're racist and that's the way we like it.” Tergabung dalam sebuah kelompok terkadang bisa membuat individu merasa memiliki kekuatan yang lebih besar ketimbang saat berdiri sebagai individu, dan barangkali pada saat itu, sekelompok suporter Chelsea yang melakukan tindakan hina tersebut merasa orang lain tak akan berani melakukan apapun pada mereka saat itu, tak peduli apa yang mereka lakukan – termasuk bertindak dan mengaku rasis sekalipun.

Dalam sosiologi, dikenal istilah perilaku kolektif (collective behavior), yang mana memiliki salah dua teori yang bisa menjelaskan mengapa sekelompok orang seperti suporter Chelsea di dalam kereta metro Paris di atas bisa dan berani berlaku melewati batas. Contagion theory dari Gustavo Le Bon, sosiolog Perancis, adalah salah satunya. Lewat contagion theory, Le Bon menjelaskan bahwa anonimitas yang dimiliki oleh anggota kelompok (karena mereka tergabung dalam satu kesatuan kelompok sehingga identitas yang mereka miliki adalah identitas kelompok) membuat orang-orang di dalam kelompok menanggalkan tanggung jawab mereka sebagai individu dan menyerahkan diri mereka kepada emosi kelompok. Menurut Le Bon, individu cenderung mengikuti sikap dan perilaku kelompok hingga menuju ke arah aksi-aksi yang irasional dan mengandung kekerasan.

Teori lainnya yang bisa menjelaskan perilaku kolektif adalah convergence theory. Namun berbeda dengan contagion theory yang menjelaskan bahwa individu di dalam kelompok cenderung irasional dan hanya mengikuti emosi kelompok, convergence theory, yang dikembangkan oleh psikolog Amerika, Floyd Allport, menjelaskan bagaimana kelompok justru terbentuk karena kesatuan sikap dari individu-individu di dalamnya. Sehingga bisa diartikan bahwa sekelompok kecil pendukung Chelsea yang bersikap rasis dan bangga akan sikap rasisnya tersebut terbentuk karena individu-individu di dalamnya memang memiliki kecenderungan untuk bersikap rasis.
Meski memiliki sudut pandang yang berbeda, tetapi contagion dan convergence theory sama-sama menunjukkan bagaimana orang-orang yang berada di dalam kelompok memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu yang mungkin tak mungkin mereka lakukan saat sendiri. Anonimitas yang dimiliki oleh individu ketika berada di dalam kelompok memungkinkan hal tersebut.
Saya pribadi lebih meyakini convergence theory sebagai teori yang lebih tepat untuk menjelaskan perilaku rasis yang dilakukan oleh pendukung sepak bola di seluruh dunia, termasuk yang dilakukan oleh sekelompok kecil pendukung Chelsea tadi. Bahwasannya, hampir setiap individu di dalam kelompok yang bersikap rasis adalah sesuatu yang sulit dibantah secara meyakinkan, meski kita tidak serta merta bisa menyebutnya sebagai suatu fakta.

Hampir setiap individu di dunia ini, bukan hanya para pendukung sepak bola, memiliki sifat atau kecenderungan untuk rasis. Bagian yang membedakan mereka yang benar-benar bersikap rasis dan mereka yang tidak adalah besarnya upaya mereka untuk menekan keinginan untuk bersikap rasis. Sifat rasis memang tidak hadir secara alamiah dalam diri manusia sejak lahir, tetapi konstruksi sosial membuat sifat ini menjadi sebuah fenomena yang umum terjadi. Mereka yang sama sekali tak memiliki sifat atau keinginan untuk bersikap atau berpikir yang mengarah rasis hanyalah mereka yang tumbuh berkembang di lingkungan di mana individu-individu di dalamnya berhasil menekan sifat rasis mereka dalam-dalam sehingga tidak mempengaruhi individu yang tumbuh berkembang tadi untuk memiliki opini atau sikap yang meyakini bahwa rasnya lebih superior dibanding ras lain atau memiliki pemikiran stereotipe mengenai ras-ras tertentu – tetapi apakah situasi tersebut bisa benar-benar terjadi?

Ketika orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk bersikap dan berpikir bahwa ras mereka lebih superior daripada ras yang lain berkumpul itulah yang membuat situasi seperti yang terjadi di stasiun metro Paris tak lama menjelang pertandingan Paris Saint-Germain vs Chelsea di Parc des Princes bisa terjadi. Hal itu pulalah yang terjadi di tribun-tribun stadion ketika nyanyian yang rasis terdengar.
Tetapi apakah sikap rasis hanya muncul ketika individu berada di dalam kelompok? Tentu tidak. Terkadang, pikiran dan sikap rasis bisa muncul secara sadar maupun tidak saat kita sendiri, lewat pernyataan ataupun perilaku yang dilakukan. Apa yang dilakukan oleh Arrigo Sacchi bisa menjadi contoh.
Sacchi boleh saja berargumen bahwa apa yang ia katakan terkait banyaknya pemain berkulit hitam di tim primavera klub-klub Italia bukan sesuatu yang rasis, karena ia mengatakan hal itu lebih untuk mengkritik soal banyaknya pemain asing di akademi klub-klub Italia dan bukannya mengkritik jumlah pemain berkulit berwarna. Tetapi tetap saja, ia menyebutkan dan mempermasalahkan pemain berkulit hitam, dan hal itu bisa (atau sudah) mengarah ke arah rasisme.

Perang terhadap rasisme sepertinya memang tidak akan pernah berakhir, selama semua individu di dunia ini tidak pernah mampu benar-benar menekan sikap dan pikiran yang bersifat rasis sehingga generasi selanjutnya bisa tumbuh tanpa mengenal atau meyakini superioritas ras tertentu. Hal yang terpenting saat ini adalah terus mengajak orang untuk menekan keinginan untuk bersikap dan berpikir rasis, sehingga insiden seperti yang melibatkan sekelompok kecil pendukung Chelsea di stasiun kereta bawah tanah Paris kemarin tak terjadi lagi – terutama bagian perasaan bangga akan sikap rasis yang benar-benar mengerikan itu.

Perlu diingat bahwa rasisme tidak hanya terjadi di Eropa dan Amerika saja. Indonesia pun memiliki sejarah panjang terkait rasisme, terutama menyangkut etnis Tionghoa. Untungnya, meski belum pernah, dan mungkin tak akan pernah, sepenuhnya berhasil, upaya untuk menekan dan menghapuskan sentimen buruk terhadap ras (atau lebih tepatnya, etnis) Tionghoa terus menerus digalakkan, dan itu adalah sesuatu yang positif. Misalnya saja, makin meluasnya penyebutan Tionghoa dan Tiongkok sebagai kata ganti untuk Cina sebagai etnis/ras dan negara (Republik Rakyat Tiongkok) menyusul Keputusan Presiden yang dikeluarkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir masa jabatannya, Maret 2014 lalu. Ini adalah upaya yang sangat bagus, apalagi dengan makna peyoratif yang dimiliki istilah Cina. Saya jadi teringat wawancara yang saya lakukan dengan salah seorang kawan Tionghoa menyangkut penyebutan ini sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Saat itu, ia menjelaskan mengapa Tionghoa dan Tiongkok adalah penyebutan yang lebih baik ketimbang Cina atau China, dan bagaimana penyebutan Tionghoa itu membuatnya merasa lebih dihargai ketimbang disebut Cina. Itu pula kali pertama saya mulai familiar dengan penyebutan Tiongkok – sesuatu yang lebih asing ketimbang Tionghoa, istilah yang sudah lebih banyak dipakai oleh orang Indonesia sejak dulu. Siapa sangka, kurang dari dua tahun setelah wawancara tersebut, SBY meresmikan kembalinya penyebutan Tionghoa dan Tiongkok untuk menggantikan Cina atau China. Sesuatu yang pastinya membuat Calvin He, kawan saya tersebut, sangat bahagia.

Berbicara mengenai Tionghoa, saya juga jadi bertanya-tanya sendiri, mengapa rasanya semakin sedikit orang-orang Tionghoa yang bermain sepak bola di Indonesia, sampai kemudian membela tim nasional? Praktis, saat ini mungkin hanya ada nama Kim Jeffrey Kurniawan yang benar-benar mewakili Tionghoa di timnas Indonesia. Nama lain yang mungkin akan mengikuti jejak Kim adalah Sutanto Tan. Tetapi secara jumlah, pemain-pemain Tionghoa kini tak lagi benar-benar mewarnai timnas Indonesia, sesuatu yang pernah terjadi hingga tahun 1962. Sumohadi Marsis, wartawan olahraga senior di Indonesia, pernah mengatakan kepada BBC Indonesia, “Sejak tahun 1962, tidak ada lagi pemain Tionghoa yang berperan besar untuk timnas Indonesia.” Hal ini menyusul terkuaknya kasus suap dan kekalahan memalukan di babak penyisihan Asian Games 1962, yang membuat banyak pemain Tionghoa seperti Tan Liong Houw, pemain Tionghoa yang berperan besar mengantarkan Indonesia ke perempat final Olimpiade 1956, mundur. Pada dekade 1930-1950an, pemain-pemain Tionghoa memang memiliki peranan besar bagi timnas Indonesia (dan juga Hindia Belanda di Piala Dunia 1938). Sungguh disayangkan memang melihat surutnya jumlah pemain Tionghoa di sepak bola Indonesia. Padahal di cabang olahraga lain seperti bulutangkis dan basket, jumlah dan peran mereka masih begitu besar.

Mengingat Indonesia pun sudah tak lagi menjadi “Macan Asia” (kalaupun kita bisa mengklaim bahwa kita pernah benar-benar menjadi macan Asia) di kancah sepak bola pasca 1960, saya juga jadi bertanya-tanya, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan menurunnya jumlah pemain sepak bola Indonesia beretnis Tionghoa? Tentu saja ini hanya pikiran iseng yang tak memiliki dasar yang jelas.
Tapi, siapa tahu saja, kan?


Catatan:
Tionghoa memang lebih pas disebut etnis ketimbang ras. Tetapi mengingat kompleksnya perdebatan mengenai etnis dan ras, saya pun merasa tak masalah mengkaitkan masalah rasisme dengan Tionghoa. Lagipula, Raman Grosfoguel dari University of California, Berkeley, juga pernah menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Race and Ethnicity or Racialized Ethnicities?” (2004), bahwa identitas rasial dan etnis adalah satu konsep dan bahwa konsep ras dan etnisitas tidak bisa digunakan dalam kategori terpisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar