Waktu kecil
dulu aku selalu ngeri kalau harus berdekatan dengan kuburan. Pikirku,
tempat itu penuh dengan makhluk berwajah seram berambut panjang nan
kusut yang gemar muncul tiba-tiba dan mengeluarkan suara tawa yang sama
sekali tak membuatku ingin tertawa. Makanya, setiap kali melintasi
kuburan yang celakanya menjadi satu-satunya akses untuk sampai ke rumah,
aku selalu memalingkan wajah. Ke mana saja, yang penting tak ke arah
batu nisan yang tertancap seadanya itu.
Tapi ada seorang teman yang belakangan
baru aku ketahui ternyata mengakrabi kuburan sejak kecil. Lewat
tulisannya ia menjelaskan kalau kuburan selalu dianggapnya sebagai
kompensasi perasaan asing tinggal di kampung orang. Maklum, ia dan
keluarganya adalah perantau. Barangkali baginya kuburan adalah bukti
tentang masa lalu. Gundukan tanah yang menutupi tubuh yang tak lagi
bernyawa bahkan tak berbentuk itu menjadi semacam catatan sejarah kalau
orang yang dikubur di sana pernah hidup bahkan mengerjakan ini dan itu.
Kaveling dua kali satu meter itu juga menjadi semacam peringatan kalau
selalu ada yang bisa dimulai setelah lara yang tak tertanggung itu
berakhir.
Teman yang sama ini pulalah yang
memperkenalkanku kepada sebuah esai yang berkisah tentang seorang
penggali kuburan yang ditulis oleh Jimmy Breslin. Esai yang jika
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berjudul “Ini Sebuah Kehormatan”
ini berkisah tentang Clifton Pollard yang diberikan tugas untuk
menggali liang lahat di hari Minggu pagi. Namun berbeda dengan liang
lahat yang pernah ia gali, orang yang akan berbaring di sini bukanlah
orang sembarangan. Namanya, John Fitzgerald Kennedy. Ia adalah presiden
Amerika Serikat yang mati ditembak dalam kunjungan politiknya.
”Sekarang ia akan datang ke sini dan
berbaring di liang lahat yang saya gali. Kau tahu, ini benar-benar
sebuah kehormatan buat saya, mengerjakan semua ini.”Pollard berbicara
seperti itu kepada John Metzler, yang tampaknya adalah seorang petugas
area pemakaman yang mengabarkan Pollard akan tugas mendadaknya itu.
Bukan kalimat yang puitis, tapi secara ajaib menjadi antinomi stereotip
yang selalu dilekatkan dengan kuburan. Kuburan ternyata tak melulu
berbicara tentang hal-hal yang mengerikan, tak selalu mengingatkan
tentang tragedi – karena toh Pollard sudah membuktikan kalau kuburan juga bisa berarti kehormatan.
Satu dua hari ini aku mendengar kisah
lain tentang mereka yang disebut-sebut sedang menggali kuburan.
Ceritanya bermula Kamis malam (16/4/2015) yang lalu saat berlangsung
diskusi yang membicarakan masa depan sepak bola Indonesia dan Persebaya
di stasiun televisi lokal bernama SBO TV. Diskusi ini dihentikan di
tengah jalan secara paksa lewat aksi kekerasan yang ditujukan pada waktu
itu juga kepada salah satu narasumber yang mewakili pihak Persebaya
1927.
Menyikapi kejadian ini, Bonek Persebaya
1927 pada akhirnya menyatakan perlawanan tegas yang diawali dengan
pernyataan tertulis. Bagi mereka, sama seperti yang ditulis oleh Andie
Peci dalam pernyataan tertulis itu, aksi penyerangan tak jantan tadi
semakin membuktikan bagaimana mafia dan premanisme telah dengan
lancangnya mengangkangi sepak bola Indonesia.
Bagi Bonek Persebaya 1927, perlawanan
ini bukan sekadar melawan ormas-ormas semimiliter tetapi perlawanan
terhadap siapa-siapa yang melecehkan sejarah panjang PSSI itu sendiri.
Bagi mereka yang mengawal Persebaya 1927 itu, perlawanan ini bukan
sekadar melawan orang-orang berseragam loreng, tetapi juga melawan
siapapun yang berusaha merampas budaya sepak bola dan menggantikannya
dengan pembenaran atas kepengecutan. Dalam pernyataan itu ditulis, apa
yang dilakukan gerombolan ormas tadi sama sekali tak sejalan dengan
budaya tribun yang kerap diusung oleh sepak bola. Budaya tribun memang
budaya yang keras dan kasar, namun ia tak menjadikanmu pengecut.
Datanglah ke stadion, selesaikan semuanya di sana, bahkan bertarunglah
secara jantan kalau memang diperlukan. Budaya tribun akan membuatmu
pulang dengan lebam dan koyak di sekujur tubuh - tapi kalau kau menang,
kau menang dengan terhormat – kalau kau kalah, kau kalah dengan
terhormat.
Mereka menolak berunding dengan maling
yang telah merampok rumahnya. Mereka mendukung pembekuan PSSI oleh
pemerintah. Sebuah bentuk perlawanan yang juga dianggap tak jauh berbeda
dengan menggali kuburan bagi sepak bola itu sendiri. Katanya, dukungan
mereka terhadap pembekuan PSSI sama saja dengan tidak memikirkan nasib
para pesepak bola, pelatih dan siapapun yang hidupnya bergantung pada
sepak bola negeri ini.
Namun yang menjadi pertanyaan, benarkah
sepak bola Indonesia yang seperti ini sungguh tidak layak dikubur?
Apakah sepak bola dengan segala kebusukan, kebebalan, kerakusan dan
kepengecutannya adalah perihal yang pantas untuk dibiarkan hidup?
Bagaimana jika sepak bola yang seperti ini memang sudah layak dikubur
karena ia memang sudah mati? Bagaimana jika ini memang waktunya untuk
melahirkan dan merawat sepak bola yang benar-benar bermartabat dan
terhormat?
Terdengar naïf memang, namun yang
membuat kuburan tidak menjadi perihal menyeramkan di mata temanku itu
adalah karena ia tahu bahwa di balik segala sesuatu yang tak bisa lagi
ditanggung, ada awal yang bisa dimulai.
Pekerjaan sebagai penggali kubur
bukanlah pekerjaan yang diminati oleh banyak orang - barangkali
pekerjaan ini adalah pekerjaan orang-orang yang tersingkirkan dari
persaingan bursa kerja. Dalam esai itu Breslin menjelaskan bahwa atas
pekerjaannya, Pollard berhak menerima upah sebesar USD 3,01 per jam yang
bila dirupiahkan akan setara dengan Rp 38.513,-. Dan ingatlah pula
kalau ia seorang penggali kuburan yang hanya akan bekerja jika ada orang
yang meninggal. Namun yang menjadikan pekerjaan Pollard pada hari itu
bukan sekadar menggali kuburan tetapi juga membangun kehormatan adalah
karena ia paham orang seperti apa yang dibaringkan di sana.
Orang-orang yang katanya sedang menggali
kuburan itupun adalah orang-orang yang terpinggirkan. Mereka pun tidak
sedang mempersiapkan liang lahat untuk seorang John Fitzgerald Kennedy.
Tapi jika perlawanan yang mereka lakukan benar-benar perlawanan yang
dilakukan dengan sebaik-baiknya dan dengan sehormat-hormatnya, aku pikir
mereka juga paham tentang apa yang sedang mereka kubur dan apa yang
harus segera mereka mulai.