Rabu, 25 Februari 2015

Rasisme, Perilaku Kolektif, dan Tionghoa





51793251_w2.jpg

Rasanya tak ada yang lebih memuakkan daripada mendengar sekumpulan orang bernyanyi dengan bangga, mendeklarasikan bahwa diri mereka rasis. Berlaku rasis adalah satu hal, tetapi bangga menjadi rasis adalah hal lainnya. Berlaku rasis adalah tindakan bodoh, tetapi bangga menjadi rasis adalah hal yang mengerikan.
Saya tidak tahu apa tepatnya ada di dalam kepala sekumpulan suporter Chelsea saat mereka mencegah seseorang berkulit gelap masuk ke dalam kereta bawah tanah di Paris, lalu dengan bangga bernyanyi, “We're racist, we're racist and that's the way we like it.” Tergabung dalam sebuah kelompok terkadang bisa membuat individu merasa memiliki kekuatan yang lebih besar ketimbang saat berdiri sebagai individu, dan barangkali pada saat itu, sekelompok suporter Chelsea yang melakukan tindakan hina tersebut merasa orang lain tak akan berani melakukan apapun pada mereka saat itu, tak peduli apa yang mereka lakukan – termasuk bertindak dan mengaku rasis sekalipun.

Dalam sosiologi, dikenal istilah perilaku kolektif (collective behavior), yang mana memiliki salah dua teori yang bisa menjelaskan mengapa sekelompok orang seperti suporter Chelsea di dalam kereta metro Paris di atas bisa dan berani berlaku melewati batas. Contagion theory dari Gustavo Le Bon, sosiolog Perancis, adalah salah satunya. Lewat contagion theory, Le Bon menjelaskan bahwa anonimitas yang dimiliki oleh anggota kelompok (karena mereka tergabung dalam satu kesatuan kelompok sehingga identitas yang mereka miliki adalah identitas kelompok) membuat orang-orang di dalam kelompok menanggalkan tanggung jawab mereka sebagai individu dan menyerahkan diri mereka kepada emosi kelompok. Menurut Le Bon, individu cenderung mengikuti sikap dan perilaku kelompok hingga menuju ke arah aksi-aksi yang irasional dan mengandung kekerasan.

Teori lainnya yang bisa menjelaskan perilaku kolektif adalah convergence theory. Namun berbeda dengan contagion theory yang menjelaskan bahwa individu di dalam kelompok cenderung irasional dan hanya mengikuti emosi kelompok, convergence theory, yang dikembangkan oleh psikolog Amerika, Floyd Allport, menjelaskan bagaimana kelompok justru terbentuk karena kesatuan sikap dari individu-individu di dalamnya. Sehingga bisa diartikan bahwa sekelompok kecil pendukung Chelsea yang bersikap rasis dan bangga akan sikap rasisnya tersebut terbentuk karena individu-individu di dalamnya memang memiliki kecenderungan untuk bersikap rasis.
Meski memiliki sudut pandang yang berbeda, tetapi contagion dan convergence theory sama-sama menunjukkan bagaimana orang-orang yang berada di dalam kelompok memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu yang mungkin tak mungkin mereka lakukan saat sendiri. Anonimitas yang dimiliki oleh individu ketika berada di dalam kelompok memungkinkan hal tersebut.
Saya pribadi lebih meyakini convergence theory sebagai teori yang lebih tepat untuk menjelaskan perilaku rasis yang dilakukan oleh pendukung sepak bola di seluruh dunia, termasuk yang dilakukan oleh sekelompok kecil pendukung Chelsea tadi. Bahwasannya, hampir setiap individu di dalam kelompok yang bersikap rasis adalah sesuatu yang sulit dibantah secara meyakinkan, meski kita tidak serta merta bisa menyebutnya sebagai suatu fakta.

Hampir setiap individu di dunia ini, bukan hanya para pendukung sepak bola, memiliki sifat atau kecenderungan untuk rasis. Bagian yang membedakan mereka yang benar-benar bersikap rasis dan mereka yang tidak adalah besarnya upaya mereka untuk menekan keinginan untuk bersikap rasis. Sifat rasis memang tidak hadir secara alamiah dalam diri manusia sejak lahir, tetapi konstruksi sosial membuat sifat ini menjadi sebuah fenomena yang umum terjadi. Mereka yang sama sekali tak memiliki sifat atau keinginan untuk bersikap atau berpikir yang mengarah rasis hanyalah mereka yang tumbuh berkembang di lingkungan di mana individu-individu di dalamnya berhasil menekan sifat rasis mereka dalam-dalam sehingga tidak mempengaruhi individu yang tumbuh berkembang tadi untuk memiliki opini atau sikap yang meyakini bahwa rasnya lebih superior dibanding ras lain atau memiliki pemikiran stereotipe mengenai ras-ras tertentu – tetapi apakah situasi tersebut bisa benar-benar terjadi?

Ketika orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk bersikap dan berpikir bahwa ras mereka lebih superior daripada ras yang lain berkumpul itulah yang membuat situasi seperti yang terjadi di stasiun metro Paris tak lama menjelang pertandingan Paris Saint-Germain vs Chelsea di Parc des Princes bisa terjadi. Hal itu pulalah yang terjadi di tribun-tribun stadion ketika nyanyian yang rasis terdengar.
Tetapi apakah sikap rasis hanya muncul ketika individu berada di dalam kelompok? Tentu tidak. Terkadang, pikiran dan sikap rasis bisa muncul secara sadar maupun tidak saat kita sendiri, lewat pernyataan ataupun perilaku yang dilakukan. Apa yang dilakukan oleh Arrigo Sacchi bisa menjadi contoh.
Sacchi boleh saja berargumen bahwa apa yang ia katakan terkait banyaknya pemain berkulit hitam di tim primavera klub-klub Italia bukan sesuatu yang rasis, karena ia mengatakan hal itu lebih untuk mengkritik soal banyaknya pemain asing di akademi klub-klub Italia dan bukannya mengkritik jumlah pemain berkulit berwarna. Tetapi tetap saja, ia menyebutkan dan mempermasalahkan pemain berkulit hitam, dan hal itu bisa (atau sudah) mengarah ke arah rasisme.

Perang terhadap rasisme sepertinya memang tidak akan pernah berakhir, selama semua individu di dunia ini tidak pernah mampu benar-benar menekan sikap dan pikiran yang bersifat rasis sehingga generasi selanjutnya bisa tumbuh tanpa mengenal atau meyakini superioritas ras tertentu. Hal yang terpenting saat ini adalah terus mengajak orang untuk menekan keinginan untuk bersikap dan berpikir rasis, sehingga insiden seperti yang melibatkan sekelompok kecil pendukung Chelsea di stasiun kereta bawah tanah Paris kemarin tak terjadi lagi – terutama bagian perasaan bangga akan sikap rasis yang benar-benar mengerikan itu.

Perlu diingat bahwa rasisme tidak hanya terjadi di Eropa dan Amerika saja. Indonesia pun memiliki sejarah panjang terkait rasisme, terutama menyangkut etnis Tionghoa. Untungnya, meski belum pernah, dan mungkin tak akan pernah, sepenuhnya berhasil, upaya untuk menekan dan menghapuskan sentimen buruk terhadap ras (atau lebih tepatnya, etnis) Tionghoa terus menerus digalakkan, dan itu adalah sesuatu yang positif. Misalnya saja, makin meluasnya penyebutan Tionghoa dan Tiongkok sebagai kata ganti untuk Cina sebagai etnis/ras dan negara (Republik Rakyat Tiongkok) menyusul Keputusan Presiden yang dikeluarkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir masa jabatannya, Maret 2014 lalu. Ini adalah upaya yang sangat bagus, apalagi dengan makna peyoratif yang dimiliki istilah Cina. Saya jadi teringat wawancara yang saya lakukan dengan salah seorang kawan Tionghoa menyangkut penyebutan ini sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Saat itu, ia menjelaskan mengapa Tionghoa dan Tiongkok adalah penyebutan yang lebih baik ketimbang Cina atau China, dan bagaimana penyebutan Tionghoa itu membuatnya merasa lebih dihargai ketimbang disebut Cina. Itu pula kali pertama saya mulai familiar dengan penyebutan Tiongkok – sesuatu yang lebih asing ketimbang Tionghoa, istilah yang sudah lebih banyak dipakai oleh orang Indonesia sejak dulu. Siapa sangka, kurang dari dua tahun setelah wawancara tersebut, SBY meresmikan kembalinya penyebutan Tionghoa dan Tiongkok untuk menggantikan Cina atau China. Sesuatu yang pastinya membuat Calvin He, kawan saya tersebut, sangat bahagia.

Berbicara mengenai Tionghoa, saya juga jadi bertanya-tanya sendiri, mengapa rasanya semakin sedikit orang-orang Tionghoa yang bermain sepak bola di Indonesia, sampai kemudian membela tim nasional? Praktis, saat ini mungkin hanya ada nama Kim Jeffrey Kurniawan yang benar-benar mewakili Tionghoa di timnas Indonesia. Nama lain yang mungkin akan mengikuti jejak Kim adalah Sutanto Tan. Tetapi secara jumlah, pemain-pemain Tionghoa kini tak lagi benar-benar mewarnai timnas Indonesia, sesuatu yang pernah terjadi hingga tahun 1962. Sumohadi Marsis, wartawan olahraga senior di Indonesia, pernah mengatakan kepada BBC Indonesia, “Sejak tahun 1962, tidak ada lagi pemain Tionghoa yang berperan besar untuk timnas Indonesia.” Hal ini menyusul terkuaknya kasus suap dan kekalahan memalukan di babak penyisihan Asian Games 1962, yang membuat banyak pemain Tionghoa seperti Tan Liong Houw, pemain Tionghoa yang berperan besar mengantarkan Indonesia ke perempat final Olimpiade 1956, mundur. Pada dekade 1930-1950an, pemain-pemain Tionghoa memang memiliki peranan besar bagi timnas Indonesia (dan juga Hindia Belanda di Piala Dunia 1938). Sungguh disayangkan memang melihat surutnya jumlah pemain Tionghoa di sepak bola Indonesia. Padahal di cabang olahraga lain seperti bulutangkis dan basket, jumlah dan peran mereka masih begitu besar.

Mengingat Indonesia pun sudah tak lagi menjadi “Macan Asia” (kalaupun kita bisa mengklaim bahwa kita pernah benar-benar menjadi macan Asia) di kancah sepak bola pasca 1960, saya juga jadi bertanya-tanya, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan menurunnya jumlah pemain sepak bola Indonesia beretnis Tionghoa? Tentu saja ini hanya pikiran iseng yang tak memiliki dasar yang jelas.
Tapi, siapa tahu saja, kan?


Catatan:
Tionghoa memang lebih pas disebut etnis ketimbang ras. Tetapi mengingat kompleksnya perdebatan mengenai etnis dan ras, saya pun merasa tak masalah mengkaitkan masalah rasisme dengan Tionghoa. Lagipula, Raman Grosfoguel dari University of California, Berkeley, juga pernah menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Race and Ethnicity or Racialized Ethnicities?” (2004), bahwa identitas rasial dan etnis adalah satu konsep dan bahwa konsep ras dan etnisitas tidak bisa digunakan dalam kategori terpisah.

Fans Sepakbola Inggris Ingin Regulasi Safe-Standing Diaktifkan Lagi

By Bolatotal,


8fsiirssdlc.jpg
Menonton pertandingan sepakbola dengan hanya duduk manis di bangku tentu akan terasa cukup membosankan. Setidaknya hal ini dialami oleh para fans sepakbola di Inggris. Dari polling yang dilakukan ‘Your Voice’ 9 dari 10 orang ingin regulasi safe standing diaktifkan lagi. Regulasi ini memang dinonaktifkan sejak musim 1994/95 lalu terutama bagi tim yang bermain di dua divisi teratas Inggris.
“Setiap suara yang masuk menunjukan bahwa ada dukungan untuk menonton sambil berdiri dan ribuan orang membuat permintaan yang jelas setiap pekannya dengan berdiri di depan bangku mereka,”ujar eks Direktur Komunikasi Tenaga Kerja dan sekaligus dan fan Burnley, Alistair Campbell.
“Kesulitan satu-satunya datang dari pengawas stadion yang bersikap terlalu berlebihan dengan menetapkan peraturan yang konyol kepada kami. Dan juga saya mohon jangan katakan bahwa regulasi ini akan memunculkan tragedi Hillsborough lainnya.”
“Kejadian Hillsborough adalah karena kesalahan pengaturan tiket, pengawasan, manajemen suporter yang buruk dan masalah kapasitas.”
Salah satu fan Liverpool juga menyuarakan suaranya dengan berkata : ”Setiap pekannya para Kop berdiri tanpa ada kegagalan dan tidak ada yang terkena cedera. Ini adalah masalah akal sehat. Fans akan tetap berdiri di setiap pertandingan. Regulasi harus diikuti dengan perkembangan era saat ini bukan berdasar masa lalu.”


Oleh: Mahatma D. Putra / @its_me_Osza
Sumber:mirror.co.uk
Foto:mirror.co.uk

Simonides dan Ingatan yang Terpahat

Simonides dan Ingatan yang Terpahat

Yusuf Arifin - detikSport

Di satu saat di Yunani lima abad sebelum lahir Yesus Kristus, berlangsung sebuah pesta untuk menghormati Scopas, seorang bangsawan Thessalia. Penyair terkenal Yunani saat itu, Simonides, berpidato menyampaikan puja pujinya di hadapan hadirin.

Ia baru saja duduk ketika seseorang menepuk pundaknya dan mengatakan ada dua orang berkuda yang baru saja datang menunggu di luar ruangan membawa pesan penting. Ia berdiri kembali dan bergegas berjalan ke luar ruangan.

Persis saat penyair itu tiba di luar ruangan, bangunan tempat pesta berlangsung runtuh dan menimbun mati semua yang ada di dalamnya. Penderitaan bertambah ketika reruntuhan berhasil disingkirkan, tak satu pun mayat bisa dikenali karena rusak berat.

Beruntung Simonides mempunyai daya ingat yang sangat tajam. Di tengah histeria, ia menenangkan mereka yang panik mencari teman maupun sanak saudara. Ia menuntun mereka ke posisi di mana semua orang berada persis sebelum keruntuhan terjadi.

Simonides ingat saat ia berpidato: Scopas tertawa di ujung meja, di seberang meja duduk sesama penyair sedang menghabiskan makanannya, di ujung meja yang lain seorang bangsawan tersenyum nyinyir, si A bersandar di pilar melamun, si B di sebelah menyimak pidato dengan tekun, dari jendela yang terbuka tampak dua orang menunggang kuda yang seperti terburu-buru menuju ke tempat pesta, dan seterusnya dan seterusnya. Tidak ada yang terlewatkan dan tidak diingat oleh Simonides. Semuanya terekam di otaknya. Seperti cetak foto yang terpahat di kepala.

Menurut legenda, seni ingatan (the art of memory) lahir persis ketika Simonides mendemonstrasikan daya ingatnya yang luar biasa itu. Terutama sekali seni ingatan lewat metode loci (ruang).

Kita tahu ingatan yang tajam itu tidak selalu given (anugerah yang didapat begitu saja) sifatnya. Tetapi bisa dilatih (dengan kerja keras dan disiplin tentunya). Untuk memudahkan Simonides mengajari orang untuk membuat ruang-ruang imajiner di otak sesuai keperluan dan kemudian mengatur apa yang ingin diingat/disimpan dalam ruangan-ruangan itu.

Padanan sederhananya seperti dengan komputer ketika kita membuat folder lalu diisi dengan file-file yang kita inginkan. Pada saat tertentu ketika diperlukan ingatan itu bisa dipanggil kembali, layaknya Simonides membangun kembali ruangan pertemuan itu beserta isinya. Bahkan Simonides juga mengajarkan, seperti juga komputer, kita bisa menghapus file-file itu dan kita isi dengan ingatan-ingatan baru.

Di Amerika dan Inggris (juga Eropa) walau tidak populer seni ingatan semacam yang didemonstrasikan oleh Simonides hingga sekarang masih lestari. Bahkan ada lomba tahunannya.

Tetapi apa hubungan seni ingatan ini dengan sepakbola?
Suatu saat para ilmuwan di Inggris membahas tentang kemampuan para pemain sepakbola: membaca permainan, pergerakan pemain lawan maupun kawan, memahami ruang, menghitung beberapa kemungkinan skenario kejadian, dan melakukan eksekusi gerakan/tendangan. Semuanya dilakukan simultan dalam hitungan detik, dengan berbagai variasi, dan intensitas yang tinggi.

Dibutuhkan pemahaman geometris yang rumit, hukum kekekalan energi, hukum gravitasi, dan sekian persamaan matematis rumit lain untuk melakukan semua itu. Belum lagi pemahaman membaca bahasa tubuh lawan dan kawan.

Bagaimana para pemain sepakbola melakukan semua itu? Padahal semua orang tahu, rata-rata pemain bola katakanlah kalau mereka harus menempuh jenjang akademis, sudah cukup beruntung tidak tinggal kelas. Pada titik ini Simonides bersinggungan dengan sepakbola.

Anda tahu menjadi pemain sepakbola bukan sekadar persoalan bakat dan fisik saja. Sepakbola juga persoalan ingatan yang tercermin lewat kebiasaan, pola, dan imajinasi.

Seorang pakar psikologi yang banyak menelaah persoalan ingatan dan kognisi, K. Anders Ericsson melakukan penelitian terhadap mereka yang dianggap jagoan (kalangan elit) dalam berbagai bidang seperti musik, olahraga, dan ilmu pengetahuan. Hasil penelitian itu ia tuangkan dalam bukunya The Road To Exellence: The Acquisition of Expert Performance in the Arts and Sciences, Sports, and Games. Ia berkesimpulan bahwa untuk menjadi jagoan di bidangnya rata-rata orang begitu menginjak umur 20 tahun telah melakukan latihan minimal 10 ribu jam dengan intens.

Elemen utama dari latihan itu adalah pengulangan secara terus menerus yang dianggap penting agar yang bersangkutan mempunyai ketrampilan, pengetahuan, dan pemahaman adaptasi psikologis agar segala sesuatunya menjadi mekanis. Pendeknya, menciptakan ingatan mental yang secara reflek bisa dipanggil kembali bila diperlukan.

Kalau kita baca kisah-kisah para pemain bola, hampirnya semuanya mempunyai kisah yang serupa: gila bermain bola yang hampir mendekat obsesi, sebagian memang obses dengan bola, sejak masih kecil. Bola tidak pernah jauh dari kaki kapanpun juga. Dan di setiap kesempatan selalu bermain: di ruang layak maupun tidak, cukup teman atau tidak.

Apa yang terjadi pada mereka ini, walau tanpa mereka sadari, adalah apa yang disebut Simonides menciptakan ruang-ruang ingatan dan mengisinya. Sementara Ericsson menyebut ingatan mental yang secara reflek bisa dipanggil kembali ketika diperlukan.

Tanpa disadari mereka calon pemain bola itu meresapi apa yang disebut para ilmuwan sebagai pemahaman geometris yang rumit, hukum kekekalan energi, hukum gravitasi, dan sekian persamaan matematis rumit lain. Mereka mengumpukan ribuan bahkan puluhan ribu ingatan mental yang terkait dengan permainan bola sekaligus persamaan matematis rumit itu.

Kalau bola ditendang dengan sudut seperti ini akan bergerak seperti itu, berapa tenaga yang harus dikeluarkan untuk menendang sesuai jarak yang diinginkan, bagaimana cara agar melambung atau menyusur tanah, memanipulasi gerak bola, bagaimana membaca bahasa tubuh lawan, melakukan pergerakan dengan ataupun tanpa bola, bekerja sama, memanfaatkan ruang sempit dan lebar, dan seterusnya, dan sebagainya.
Pelatihan yang benar dan terstruktur diperlukan agar ingatan mental itu bisa diarahkan, dirawat, dan diperkaya. Semakin dini latihan diberikan akan semakin baik. Setidaknya kalau hanya berpegang pada kuota 10 ribu jam tanpa menghitung faktor lain, maka angka minimal itu akan terpenuhi lebih cepat. Ruang ingatan seperti yang dikatakan Simonides akan terisi dibatas minimal.

Juga pertandingan-pertandingan yang sesungguhnya, ikut memperkaya ragam ingatan-ingatan itu. Kemampuan otak untuk menjadi layaknya busa untuk menyerap pengalaman tidak pernah berhenti.



Saya tidak berani menilai apakah apa yang diajarkan Simonides dan Ericsson benar adanya. Tetapi andai mereka berdua ini benar, lalu kita melihat sebuah kesebelasan (tingkat nasional yang berarti pemain-pemainnya adalah puncak pilihan--jagoan) secara konsisten tampil buruk, maka kita patut bertanya: Cukupkah ingatan mental dibenak para pemain itu? Cukup tersediakah fasilitas –pelatih, lapangan, klub, maupun infrastruktur lain-- untuk membentuk ingatan mental para pemain itu? Adakah fasilitas pembinaan berjenjang untuk membimbing para pemain itu? Adakah kompetisi yang sehat untuk merawat dan memperkaya ingatan-ingatan itu?

Kalau jawaban terhadap empat pertanyaan itu positif semua, maka akan sangat menakutkan. Karena berarti ada persoalan yang lebih mendasar dari sekadar persoalan sepakbola yang harus diselesaikan.

Kalau jawabnya negatif, itu juga menakutkan tapi lebih gampang menyelesaikan. Siapapun yang bertanggung jawab menangani dunia persepakbolaan negara itu, pastilah tidak kompeten.



====

*Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68

Persipura Jayapura Dan Persib Bandung Tetap Bisa Berlaga Di AFC Cup

By Bolatotal,
96afccup15_draw.jpg

Pihak manajemen Persipura Jayapura dilanda kekhawatiran akibat ditundanya kick-off Indonesia Super League (ISL) 2015. Perlu diketahui, Persipura bisa saja batal berlaga di ajang AFC Cup jika FIFA memberikan sanksi terhadap sepakbola Indonesia.
Jika benar sanksi tersebut dikeluarkan, maka klub-klub asal Indonesia tidak bisa tampil di kompetisi tingkat Asia seperti AFC Cup."Akibat penundaan ini, kami sempat berpikir untuk mundur dari AFC dan tidak berangkat ke Singapura untuk jalani laga perdana melawan Warriors di Singapura. Pasalnya penundaan ini bisa memicu munculnya sanksi dari FIFA, kalau sudah begitu kami jelas tidak ikut AFC Cup 2015. Jadi buat apa berangkat ke Singapura," kata Sekretaris Umum Persipura Jayapura, Rocky Babena, seperti dikutip laman Tribunnews.

Namun untungnya, ketakutan tersebut tidak benar-benar terjadi, pasalnya FIFA memberikan toleransi kepada Persipura dan juga Persib Bandung untuk tetap berkompetisi di ajang AFC Cup 2015.
Surat yang dikirimkan FIFA kepada PSSI pada tanggal 19 Februari 2015 lalu berisi tentang himbauan kepada PSSI dan PT Liga Indonesia agar segera menyelesaikan permasalahan ISL tanpa campur tangan pihak ketiga.

FIFA sendiri sudah meminta PSSI dan PT Liga Indonesia untuk memberikan perkembangan soal ISL paling lambat hari Senin (23/2) ini.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PSSI, Joko Driyono meminta Persipura tetap melanjutkan kiprah tim berjuluk Mutiara Hitam tersebut  di ajang AFC Cup. Pasalnya, jika tidak bermain di AFC Cup, sanksi yang lebih banyak bisa datang.


Oleh       : Yudha Prastianto
Sumber   : Tribunnews
Foto       : www.solopos.com

Selasa, 17 Februari 2015

Robert Heri: Jika Jadwal Kompetisi Tidak Jelas, SFC Bakal Ikut Liga Singapura

By Bolatotal Dikarenakan masih belum pastinya jadwal kapan digelarnya kompetisi Indonesia Super League (ISL) 2015, pihak manajemen klub Sriwijaya FC melontarkan tanggapan kontroversial, yakni mengikuti Liga yang ada di Singapura. Menurut Manajer Tim, Robert Heri, Sriwijaya FC sudah siap untuk mengikuti kompetisi di Singapura. “Sriwijaya FC siap mengikuti Liga di Singapura, jika tidak ada kepastian tentang jadwal. Makanya kami butuh kepastian tentang jadwal ini," jelas Robert seperti dikutipTribunnews. Robert juga mengatakan, hal tersebut dilakukan oleh Sriwijaya FC dikarenakan pihak sponsor terus bertanya mengenai kapan dimulainya pertandingan pertama. Jika kompetisi masih belum jelas, sponsor bisa saja mencabut kesepakatannya. Itulah yang ditakutkan oleh pihak manajemen. "Tim lain juga sudah punya rencana. Sementara SFC akan memilih Liga Singapura," urai Robert seperti dilansir dari Spektanet. Oleh : Yudha Prastianto (@yoeprast) Sumber : Tribunnews/Superball

Kamis, 12 Februari 2015

Kerusakan ACL Sebagai Cedera Paling Menakutkan Bagi Pesepakbola

By Bolatotal,



89kaclscpmbpsbc.jpg
Gambar Ilustrasi
Ada banyak momen dalam kehidupan yang sangat pantas untuk dikenang, tidak dapat dilupakan, terutama terkait 2 hal. Pertama adalah momen yang paling membahagiakan dan kedua adalah momen yang paling menyedihkan. Bagi Muhammad, rasul umat muslim, beliau tidak akan melupakan dirinya dan dilupakan umatnya ikhwal kejadian di gua hira ketika Djibril, sang malaikat, datang menyampaikan wahyu untuk pertama kali. Bagi Soekarno, ia tidak akan melupakan dirinya dan dilupakan rakyatnya ketika pada 17 Agustus 1945 beliau memproklamasikan Republik Indonesia. Lain lagi dengan Michael James Owen, Owen tidak akan melupakan tanggal 20 Juni 2006.
Hari itu, 20 Juni 2006, Michael Owen bersama tim nasional Inggris memainkan partai ketiga babak penyisihan Piala Dunia 2006 melawan Swedia. Laga ini adalah laga ke 80 Owen berseragam St George Cross. Inggris cukup menyelesaikan pertandingan dengan hasil seri untuk dapat melaju ke fase berikutnya karena sudah mengantongi kemenangan melawan Trinidad and Tobago dan Paraguay. Pertandingan baru memasuki detik ke 51 ketika Owen dari sisi kanan mengontrol bola, kemudian melepaskan umpan. Setelah melakukan operan, tumpuan kaki owen tidak stabil sehingga ia jatuh dalam posisi yang salah. Akibat hal ini Owen cedera dan harus ditandu keluar lapangan untuk digantikan Peter Crouch. Belakangan Owen didiagnosis menderita cedera Anterior Cruciate Ligament  (ACL).
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ACL, mari kita awali dengan memahami pengertian cedera. Cedera secara definitif dapat diartikan sebagai kondisi fisik yang menyebabkan pemain gagal ikut bertanding, harus diganti saat pertandingan atau mengalami gangguan, apapun jenisnya, sehingga harus mendapat perawatan medis. Dengan demikian, cedera dapat bervariasi dari ringan hingga berat, sangat bergantung terhadap mekanisme terjadinya cedera, jenis cedera yang dihasilkan, lokasi anatomis dan hal-hal lain yang relevan.
Dalam penelitian berjudul “Injury Profile of a Professional Soccer Team in the Premier League of Iran”  yang dipublikasi tahun 2010 menyebutkan lebih dari 80% cedera berada pada alat gerak bagian bawah. Cedera pada alat gerak bawah dibagi menjadi 7 regio ; pinggul, groin (selangkangan), paha, lutut, betis, ankle dan kaki. Pada tahun 2001 dipublikasi penelitian dengan judul The association football medical research programme: an audit of injuries in professional football”. Penelitian ini melibatkan 91 tim di 4 divisi teratas Liga Inggris selama 2 musim, 1997-1999. Dari sini diketahui bahwa lokasi anatomis pesepakbola yang paling sering mengalami cedera adalah paha (23%) lutut (17%) dan ankel (17%). Hasil ini dikuatkan oleh penelitian lain “Injury evaluation of the Turkish national football team over six consecutive seasons” yang dilakukan pada tahun 2000-2005. Hasilnya mirip, 3 besar lokasi anatomis cedera ada pada paha (32.7%) lutut (15.4%) dan ankle (15.4%).
Penelitian-penelitian di atas menunjukkan kepada kita bahwa cedera lutut jamak terjadi pada pesepakbola profesional. Dari banyak jenis cedera lutut, yang paling berbahaya dan menakutkan adalah kerusakan pada Anterior Cruciate Ligament (ACL). Gambaran kengerian ACL bisa kita lihat pada twitt Wan Zack Haikal, salah satu talenta paling bersinar Asia Tenggara yang baru-baru ini mengalami cedera ACL saat latihan bersama FC Ryuku, klub divisi III Liga Jepang, “Airmata terus keluar bila docktor cakap ACL...What can I do. Just pray for my future:'( Nonit to call me okey im not okey right now”. Kemudian Wan Zack twitt-kan juga “ACL..dimna nak berubat? Tolong laa saya:'( tanak operation:'(“.
Secara deskriptif agak sulit menjelaskan dimana lokasi anatomis ACL, sehingga akan lebih mudah jika ditunjukkan gambarnya saja.
Gambar sebelah kiri tampak depan, gambar sebelah kanan tampak belakang.
Kerusakan ACL dapat terjadi apabila pemain melakukan gerakan memutar badan secara tiba-tiba, sementara kaki tetap terfiksasi pada tanah. Sehingga cedera ACL adalah cedera yang dapat terjadi tanpa ada kontak dengan pemain lawan. Pemain yang mengalami kerusakan ACL pasti tidak akan mampu melanjutkan pertandingan oleh karena nyeri yang luar biasa. Coba kawan-kawan lihat video Ronaldo asli saat masih berseragam inter, ketika melawan Lazio di coppa italia. Saat ditandu, di video itu kita bisa dengar betapa mengerikannya raungan Ronaldo akibat nyeri yang dirasakannya. Selain itu, biasanya pemain akan mendengar suara “krek” yang berasal dari lutut.
Pada satu studi yang dipublikasi Januari 2012 lalu diketahui bahwa setelah mengalami cedera ACL, pemain dapat kembali berlatih pada hari ke 90 ± 26 dan kembali ke kompetisi setelah hari ke 185 ± 52. Hal ini sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan untuk terapi penyembuhan cedera ACL dan derajat keparahan ACL. Derajat keparahan cedera ACL secara umum dibagi menjadi 2, apakah putus secara total, seperti yang ditunjukkan oleh gambar atau hanya robek sebagian.
Walaupun pemain dapat kembali dalam tempo rata-rata 5 bulan, sebagian besar tidak akan mampu kembali pada level sebelum cedera. Pasca 2006, Michael Owen tampil 129 kali sampai dengan 2013 ketika membela Stoke City, selama 7 musim itu ia mencetak hanya 41 gol. Bandingkan dengan 7 musim sebelum cedera dimana Owen mengoleksi 267 caps disemua ajang dengan 134 gol. Penurnuan statistik juga dialami oleh Ronaldo asli dimana ia mencatat 101 gol dalam 114 penampilan dalam 4 musim sebelum cedera lutut pertama kali dan mencetak 102 gol dalam 164 penampilan dalam 9 musim paska cedera lutut pertama kali.
Mengerikannya cedera ACL mendorong para ahli untuk menemukan suatu metode preventif bagi pesepakbola. Belakangan diketahui latihan dengan metode PEP (Prevent Injury, Enhance Performance) mampu mencegah pemain mengalami cedera ACL. Menurut buku Football Medicine Manual, penerapan latihan PEP yang hanya memakan waktu 15 menit ini cukup dilakukan 2-3 kali seminggu selama 6-8 minggu sudah cukup menurunkan kejadian dan keparahan cedera ACL antara 60-89%.

Ditulis oleh : Agiramadhani

Bertahan Adalah Bagian Dari Permainan

By Renalto Setiawan,
31babdp.jpg
Dalam dua kali kegagalan Barcelona era Pep Guardiola di Champions League yang sama-sama terjadi di babak semifinal saat menghadapi Inter Milan dan Chelsea, kita semua tahu kalau Inter dan Chelsea memainkan taktik yang sama : ultradefensif.  Parkir bus, parkir tronton, membuat tembok Berlin atau membuat tembok China, analogi tersebut semuanya mengarah pada taktik ultradefensif. Banyak orang beranggapan bahwa Inter dan Chelsea pada saat itu bermain sepakbola negatif. Mungkin orang yang beranggapan demikian merasa tidak terhibur dengan cara yang dimainkan Inter dan Chelsea. Tapi baik bagi Inter maupun Chelsea, mungkin itu satu-satunya cara yang dapat digunakan untuk mengalahkan Barcelona. Bagi mereka bermain ultradefensif bukan sesuatu yang negatif  justru sebaliknya karena pada akhirnya mereka berhasil mengalahkan Barcelona dengan cara tersebut.

Jika sebuah tim di atas kertas secara kualitas berada jauh  di bawah Barcelona. Bermain terbuka ketika menghadapi mereka adalah sebuah kekeliruan. Mungkin tim tersebut akan mendapatkan apresiasi karena berani meladeni permain menyerang yang dilakukan oleh Barcelona. Tapi apa artinya apresiasi tersebut jika pada akhirnya tim tersebut kalah telak saat wasit mengakhiri pertandingan ? Bermain ultradefensif pun belum tentu menjamin kemenangan bagi mereka.

Bertahan  bukan merupakan suatu cara yang mudah untuk dilakukan. Bertahan melibatkan semua pemain yang berada di lapangan. Harus ada koordinasi antar zona yang terdapat micro taktic di dalamnya sebelum berkerja pada organisasi secara utuh. Untuk memperlancar hal tersebut juga dibutuhkan kedisiplinan dan konsentrasi yang tinggi. Hal-hal yang seharusnya tidak membuat bertahan kita labeli “ bermain negatif ” dengan mudah.
Vittorio Pozzo dan Nereo Rocco menciptakan catenaccio bukan untuk sesuatu yang negatif. Mereka ingin menang dengan cara tersebut. Helenio Herrera yang mempunyai prinsip "Class + Preparation + Intelligence + Athleticism = Championships“ juga mengamini apa yang dilakukan oleh Vittoria Pozzo dan Nereo Rocco dengan menggunakan  catenaccio sebagai bagian dari kejayaan Inter Milan pada eranya. Kita dapat mengambil kesimpulan dari prinsip dan catenaccio yang Herrera terapkan. Bahwa, bertahan juga bagian dari filosofi permainan untuk meraih kemenangan dan membutuhkan banyak varian untuk membuatnya sempurna. Prinsip "Class + Preparation + Intelligence + Athleticism = Championships“ juga merupakan salah satu  varian yang diperlukan.

Dalam possession football yang diterapkan Pep Guardiola ketika menjadi pelatih Barcelona maupun Bayern Munchen. Cara mereka bertahan merupakan dasar dari filosofi permainan mereka. Menurut saya Barcelona dan Bayern Munchen pada era Pep Guardiola benar-benar mengeluarkan tenaga saat mereka kehilangan bola dan saat mereka menguasai bola mereka tampak seperti sedang “ambil nafas”.  Saat mereka kehilangan bola, mereka akan melakukan high pressing dengan intensitas yang begitu tinggi. Koordinasi antar zona harus berjalan dengan baik. Dari pemain paling depan sampai pemain paling depan harus mempunyai link. Jarak pemain paling depan dengan pemain paling belakang juga diukur untuk mengoptimalkannya.   Konsentrasi dan disiplin adalah  hal yang mutlak. Karena tidak boleh ada kekeliuran sedikit pun ketika melakukan hal tersebut.

Sepakbola modern menuntut semua lini untuk ikut andil ketika sebuah tim dalam keadaan kehilangan bola. Tidak hanya pemain bertahan, pemain depan pun harus bisa melakukannya. Mereka harus mampu ikut berperan aktif. Hal yang kemudian memunculkan peran pemain dengan istilah defensive forward, defensive midfielder, defensive playmaker, dan defensive winger. MarioMandzukic, Wayne Rooney, Park Ji Sung, Riccardo Montolivo dan Dirk Kuyt adalah contoh dari pemain-pemain yang pernah dan masih menjalankan peran-peran tersebut.
Jika maksud kita menyebut bertahan adalah permainan negatif karena tim yang melakukannya tidak menghibur kita sebagai penonton. Kita harus ingat pada pertandingan El Clasico minggu lalu. Pada saat Daniel Alves melakukan nutmeg kepada Cristiano Ronaldo, bukankan saat itu Ronaldo sedang melakukan track back

Ditulis oleh : Renalto Setiawan

Komik Bola, Guilty Pleasure Saya

By Ranaditya Alief,

 

83Ozora.Tsubasa.full.310672.jpg Pertandingan final Piala Dunia U-20 memasuki injury time. Dengan skor 1 - 2 untuk tim tuan rumah Jepang, pelatih tim Brazil memasukkan seorang pemain baru untuk mengejar ketertinggalan. Namun, alih-alih menyerang, pemain cadangan bernomer keramat 10 tersebut malah berjongkok mengerami bola di tengah lapangan, membuat seisi stadion heran termasuk rekan timnya sendiri. 60 detik lamanya ia memparodikan Andre Villas Boas, dan bola dibawah kakinya lenyap secara magis. Belum sempat 50,000 orang penonton berkata "terus gue musti bilang wow gitu?" tanpa sarkas, sang pemain pengganti langsung berlari ke kotak penalti tim Jepang, meloncat setidaknya dua kali lipat pelompat paling tinggi di Olimpiade, dan mengambil posisi bicycle kick. Simsalabim, bola yang tadinya hilang muncul di kakinya, dan kemudian ditendang olehnya ke rumput, menciptakan sudut pantulan yang mampu mengecoh Pythagoras sekalipun sebelum bersarang di gawang tim Jepang.

Saya berhak memanggil Anda moron bila Anda mengira peristiwa diatas benar-benar pernah terjadi di Piala Dunia U-20. Pada kenyataannya, aksi mustahil supersub tim junior Brazil tersebut berlangsung di halaman-halaman komik Captain Tsubasa World Youth, sekuel seri manga sepakbola populer Captain Tsubasa karya Yoichi Takahashi. Pencetak gol equalizer Canarinha fiktif itu bernama Natureza, dan meskipun Aozora Tsubasa dan tim Jepangnya-lah yang akhirnya menang, keduanya berkembang menjadi rival abadi di kemudian hari. Terlepas dari itu, kemunculan perdana Natureza membekas di kenangan saya karena mengandung dua hal yang membuat komik bola menjadi guilty pleasure saya.

Pertama, the football is out of this planet. Tak bisa dipungkiri lagi, goresan kuas dan daya khayal para mangaka memberikan pesepakbola imajiner mereka kemampuan untuk berulangkali mempertanyakan hukum-hukum fisika. Barangkali contoh definitifnya memang Captain Tsubasa. Selain aksi Natureza tadi, total 90 jilid Captain Tsubasa diisi berbagai macam teknik ajaib, dari tembakan yang dapat merobek jala, dribel yang membuat pembawa bolanya seolah menjadi banyak, hingga tendangan salto dua pemain kembar sekaligus yang memanfaatkan pemain lain sebagai trampolin untuk mengudara. Aksi-aksi semacam ini tidak dapat dilihat di dunia nyata kecuali Anda menonton All Star Match antara semua pemain klub top Eropa sambil melahap mushroom.

Kedua, the best is usually saved for last. Coba kita renungkan baik-baik: kecuali sang pemain terbaik sedang tidak fit 100%, mana ada tim yang sengaja menyimpan pemain terbaiknya hingga saat terakhir?  Bayangkan saja, apa jadinya bila Jose Mourinho sengaja mem-voor tim lawan dan baru memainkan Ronaldo menjelang peluit panjang final Liga Champions? Bisa jadi Ronaldo menyamakan/membalikkan kedudukan, tapi tidak mungkin tidak ada yang mempertanyakan kewarasan Mourinho.

Uniknya, di manga seperti Captain Tsubasa World Youth, perkembangan plot seperti ini justru menciptakan efek post credit scene film-film Marvel, dengan mengesankan bahwa ternyata ada sesuatu yang lebih besar dibalik permukaan cerita. Twist ini biasanya digambarkan seperti kasus Natureza tadi; begitu masuk, sang pemain baru langsung menunjukkan skill badass tanpa keringat setetes pun dan mengubah dinamika pertandingan. Sebaliknya, lawan yang dikalahkan akan tersungkur dengan wajah basah kuyup. Mau menang atau kalah, ekspresi kontras yang dihasilkan selalu 9GAG-able, sebuah poin plus besar bagi saya.

Tentu saja, dua hal ini hanyalah sebagian dari sekian banyak alasan seseorang untuk menyukai manga sepakbola. Malah, bisa jadi alasan saya menyukai manga sepakbola adalah alasan yang membuat Anda tidak menyukainya. Contohnya seperti rekan saya Pangeran Siahaan, yang tidak tahan membaca manga olahraga karena kemampuan teknik dan fisik karakternya yang dianggapnya tidak logis. Pendapat semacam ini absah-absah saja, tapi jika ada yang menggunakannya untuk mempertanyakan guilty pleasure saya, dengan enteng saya akan menjawab, "ya namanya juga fiksi brader, hehehe".

Tapi, toleransi saya bagi kadar metahuman tiap manga sepakbola tidak mengaburkan apresiasi saya kepada bagaimana manga-manga tersebut berkorelasi dengan sepakbola di dunia nyata. Popularitas sepakbola di Jepang misalnya, dapat dilihat dari jumlah manga yang mengangkat tema si kulit bundar. Entah statistik pastinya, tapi saya yakin bahwa dua olahraga beregu paling populer di Jepang, bisbol dan sepakbola, adalah dua olahraga yang paling banyak dikomikkan.

Captain Tsubasa sendiri sering disebut sebagai katalis kebangkitan sepakbola di Jepang. Manga dan animenya menginspirasi banyak anak sekolahan, baik laki-laki maupun perempuan untuk mulai menendang bola. Mungkin seharusnya cover depan tiap tankoubon-nya diberikan label peringatan don't try this at home, karena bisa saja Hidetoshi Nakata dan Yoshikatsu Kawaguchi cilik patah punggung akibat keseringan jatuh ketika mencoba tendangan salto Tsubasa. Lebih hebatnya lagi, popularitas Captain Tsubasa  meluas secara global dibawah judul Oliver and Benji. Nama-nama sebesar Del Piero, Zidane, dan Torres tercatat sebagai fans animenya ketika masih kecil. Adapun Andres Iniesta, yang tidak hanya menonton Tsubasa, tetapi juga menirukan aksi "bola adalah teman" ditengah kepungan 5 pemain Kroasia pada Euro 2012 yang lalu.

Bila aksi Tsubasa dkk terlalu mengawang bagi logika Anda, saya menganjurkan Our Field of Dreams (Muraeda Kenichi) dan Fantasista (Kusaba Michiteru) sebagai alternatif yang lebih realistis, tetapi memiliki skala cerita yang sama-sama mencakup perjalanan sang protagonis utama dari kecil hingga dewasa mengenakan seragam Nippon Daihyo. Tidak hanya lebih believable, kedua manga ini juga memiliki relevansi dunia nyatanya masing-masing.

Our Field of Dreams memperkenalkan saya dengan peristiwa Doha no higeki (Tragedi Doha), yaitu gagalnya timnas Jepang masuk putaran final Piala Dunia 94 akibat kebobolan di injury time melawan Iraq pada pertandingan terakhir kualifikasi. Tragedi Doha ini sering disebut di berbagai manga sepakbola, tetapi tidak pernah disorot seekstrim di Our Field of Dreams, yang menggambarkan bagaimana beberapa anggota senior timnas Jepang kerap trauma akan menit-menit terakhir pertandingan tersebut. Efek psikologis dari Tragedi Doha diceritakan memotivasi timnas Jepang untuk mengadopsi metode ekstrim dalam upaya lolos ke Piala Dunia berikutnya: membagi timnas menjadi dua tim dan bertarung satu sama lain untuk hak mewakili Jepang.

Di sisi lain, Fantasista membuat saya yang notabene hanya mengikuti EPL menjadi lebih akrab dengan peristilahan sepakbola Italia, termasuk istilah Fantasista itu sendiri. Bertutur mengenai perjalanan karir Teppei Sakamoto sebagai calon fantasista masa depan Jepang, manga karya Kusaba Michiteru ini menyelipkan beragam topik diskusi, termasuk debat dibutuhkannya atau tidak seorang fantasista dalam taktik sepakbola modern. Warna Azzuri yang kental pada manga ini juga dihiasi aksen Rossoneri. Bila Anda seorang Milanisti, story arc yang menceritakan kiprah Teppei Sakamoto di tim primavera AC Milan bisa menjadi pelipur lara yang lumayan ketika tim Anda tidak henti-hentinya terperosok di ajang domestik.

Usai menamatkan Fantasista, Kusaba-sensei kembali ke khazanah manga sepakbola dengan Lost Man, sebuah kisah mengenai pesepakbola sebatang kara yang mengidap amnesia dan gonta-ganti tim keliling dunia untuk mengumpulkan uang. Terlepas dari over-analisis saya bahwa motif finansial ini adalah sindiran terhadap pemain masa kini, perjalanan tokoh utama Lost Man, Matsumoto cukup orisinil untuk dicermati. Terakhir saya baca, Matsumoto bergabung dengan Manchester Union, versi komik dari Manchester United, dibawah asuhan comic counterpart Sir Alex Ferguson. Kabar buruk bagi glory hunter sekalian, saya masih belum menemukan versi komik Mark Clattenburg di Lost Man.

Bila setting Lost Man adalah exception to the rule manga sepakbola Jepang, rule nomor satu adalah penggunaan bangku sekolah, khususnya SMA, sebagai setting cerita. Dalam koridor ini, plot yang biasa didaur ulang berupa cerita cinderella; bagaimana sebuah tim underdog berhasil menjungkirbalikkan semua prediksi dan melaju ke inter high, tentunya dengan modifikasi sedikit antara manga yang satu dengan yang lain. Terus terang, saya tidak tahu apakah kasusnya adalah art imitates life atau sebaliknya, tetapi dari segi cakupan, kini turnamen sepakbola SMA nasional Jepang yang disebut Fufu No Kokuritu bisa mengungguli Koshien sekalipun. Kredibilitasnya semakin terbukti dengan banyaknya scout-scout yang datang ke pertandingan, dari scout klub-klub J-League hingga scout klub selevel Arsenal pada kasus Ryo Miyaichi.

Terkait dengan itu, ada dua manga sepakbola SMA yang lumayan laris di Indonesia, yaitu Shoot! (Ooshima Tsukasa) dan Offside (Heiuchi Natsuko). Shoot! menceritakan sepak terjang tiga sahabat karib, Toshi, Kazuhiro, dan Kenji yang berjanji untuk membawa tim bola SMA Kakegawa ke kejuaraan nasional untuk menghormati mendiang Kapten Kakegawa, Kubo Yoshiharu, yang meninggal akibat setelah pertandingan. Walaupun saya bukan penggemar terbesar Shoot! karena artworknya yang semenjana, aksi solo Kubo yang mencetak gol setelah melewati 11 pemain sebelum terkapar dan line paling sentimental nan brillian dalam semua manga sepakbola, "apakah kau suka sepakbola?" adalah alasan valid untuk membaca manga tersebut.

Lalu, meski tidak selaku Shoot!, Offside memberikan perspektif mengenai bagaimana seorang pemain bola dapat berganti posisi seiring perkembangannya. Bintang utamanya adalah Goro Kumagaya yang berpostur bongsor. Pada awalnya, Goro bermain sebagai kiper SMA Kawasaki, sebelum bergeser menjadi pemain tengah box to box ala Steven Gerrard. Layaknya Kapten Liverpool tersebut, senjata utama Goro adalah tendangan jarak jauhnya yang kencang.

Dewasa ini, pewaris Shoot! dan Offside adalah Area no Kishi (Igano Hiroaki & Kaya Tsukiyama). Area no Kishi/Knight of The Area mengisahkan Aizawa bersaudara. Yang kakak, Suguru, merupakan bintang timnas U-15 Jepang, sedangkan yang adik, Kakeru, telah berhenti bermain bola. Ketika keduanya ditabrak truk, Aizawa meninggal, dan jantungnya ditransplantasi ke dalam tubuh Kakeru. Dengan jantung dari kakaknya, Kakeru kembali ke lapangan hijau guna mewujudkan mimpi almarhum Aizawa untuk memenangkan Piala Dunia. Untungnya, perkembangan cerita Area no Kishi tidak melulu melankolis, tetapi juga taktis. Ini dikarenakan bagian integral dari klub SMA Enoshima tempat Kakeru bermain adalah pembuatan keputusan sang pelatih Iwaki. Menjelang dan selama tiap pertandingan berlangsung, berbagai macam formasi dan gaya bermain sepakbola dibedah dan ditindaklanjuti. 3-5-2, 4-4-2, defensive line, total football, semua disorot.

Akan tetapi, tidak akan ada manga yang bisa menjadi numero uno dalam segi taktik selama bintang utamanya bukan pelatih, dan itulah kenapa spot khusus saya berikan kepada manga tentang pelatih sepakbola, Giant Killing (Tsunamoto Masaya). Dari judulnya dapat ditebak bahwa manga ini memusatkan fokus pada tim kecil yang membantai tim-tim besar. Di Giant Killing, tim yang kecil tersebut adalah East Tokyo United (ETU), klub fiktif J-League. Bertahun-tahun terperosok di papan bawah, ETU berpaling pada sosok eksentrik Tatsumi, eks-pemain ETU yang membahwa tim amatir di Inggris mengalahkan tim-tim divisi atas di Piala FA.

Konflik muncul ketika Tatsumi kembali melatih tim lamanya untuk pertama kalinya. Sebagian fans ETU menolak kehadirannya; kepergiannya sebagai pemain dinilai sebagai akar penyebab semua masalah ETU. Pemain-pemain ETU yang tua keberatan dengan metode-metode kepelatihannya yang tidak lazim. Untuk memilih tim inti misalnya, Tatsumi menggunakan skor dari turnamen tenis sepakbola kecil-kecilan. Belum lagi gaya Tatsumi berinteraksi dengan pelatih tim lain dan media. Cuek dan karismatik, seperti The Special One. Akan tetapi, diatas lapangan kejeniusan Tatsumi tidak dapat diganggu gugat. Meskipun mengalami slow start, lambat laun tim ETU merangkak naik klasemen, tentunya sambil menggasak beberapa tim besar J-League dalam prosesnya.

Diluar segelintir manga-manga sepakbola yang telah saya jabarkan, masih ada berjubel judul-judul lainnya yang tak kalah seru, diantaranya Angel Voice (Koyano Takao) yang memasukkan elemen berandal sekolah, Whistle! (Higuchi Daisuke), yang membahas sepakbola di taraf SMP, dan Mirai No Football (Yamatoya Eko) yang memasukkan elemen time travel dan mendamparkan tokoh utamanya di tim sepakbola Inggris abad ke-19. Saking banyaknya komik bola, saya dengan mudah bisa mengatakan bahwa para otaku spoilt for choice.

Sebagai catatan kaki, ketika menilik paralel antara riuhnya komik sepakbola Jepang dengan kondisi sepakbola Jepang, saya membayangkan seandainya Indonesia memiliki komik sepakbola yang bervariasi dan berkualitas. Mungkin saya akan mendapat guilty pleasure baru, dan mungkin akan ada cikal bakal pemain bola masa depan yang terinspirasi. Tapi sejujurnya, saya rasa pengaruhnya tidak akan sebegitunya, karena tanpa komik pun sepakbola sudah menjadi olahraga paling populer di tanah air. Lantas saya berpikir lebih keras lagi dan sampai pada suatu kesimpulan. Mungkin yang dibutuhkan Indonesia adalah komik tentang pejabat sepakbola yang bersih dan tidak haus kekuasaan.

Sepakbola Perempuan (I): Sebuah Sejarah Perlawanan Panjang

By Muhammad Rezky Agustyananto,


6spsspp.jpg “The history of women’s football is remarkable. It’s not even been forgotten – it’s never been remembered. It’s been a constant fight against discrimination and inequality, and there has been a succession of strong, pioneering women who led the way and enabled change to happen.” – Margot McQuaig.
Tulisan Marini Anggitya Saragih yang berjudul Gelinding Patriarki Sepakbola Nasional seakan menyadarkan kita soal bagaimana masih termarjinalkannya sepakbola perempuan di negara ini. Juga menyadarkan kita soal bagaimana minimnya perhatian dan pengetahuan sebagian dari kita akan sepakbola perempuan. Bagaimana sejarahnya? Apakah sepakbola perempuan juga termarjinalkan di negara-negara lain di dunia? Dan bagaimana perkembangannya saat ini? Tulisan ini, serta tulisan kedua yang akan hadir pada hari Senin nanti, ingin mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
***
Sebagaimana sejarah asal muasal permainan sepakbola, tidak diketahui dengan pasti kapan tepatnya perempuan mulai bermain sepakbola. Football Association (FA) mengakui bahwa pertandingan sepakbola perempuan pertama yang terjadi adalah pada tahun 1895, ketika North mengalahkan South dengan skor 7-1. BBC mencatat bahwa pertandingan internasional sepakbola perempuan pertama Britania Raya sudah berlangsung 14 tahun sebelumnya, ketika tim perwakilan Skotlandia mengalahkan tim perwakilan Inggris dengan skor 3-0. Ada juga sumber lain yang mengatakan bahwa sudah ada dokumentasi tentang sebuah pertandingan sepakbola perempuan yang dimainkan pada tahun 1628.

Dr. Barbara Cox MBE, sejarawan sepakbola dari Selandia Baru yang juga menjadi konsultan untuk FIFA dan asosiasi sepakbola negaranya, mengatakan bahwa ada bukti yang lebih kuno soal perempuan bermain sepakbola. Dalam sebuah tulisan, ia mengatakan bahwa ada bukti lukisan dari era Dinasti Han, dari abad kedua Masehi, yang menggambarkan bagaimana dua perempuan bermain sepakbola. Ia juga mengatakan bahwa di Inggris, pertandingan sepakbola antara perempuan lajang dan perempuan yang sudah menikah diadakan setiap tahun di abad pertengahan.

Entah mana yang benar. Yang pasti, catatan mengenai sepakbola perempuan baru mulai banyak bermunculan di akhir abad 19. Ketika itu, sepakbola perempuan terus berkembang, tak kalah dengan sepakbola laki-laki yang di abad itu juga mulai mengalami kemajuan pesat. Sayangnya, jumlah kaum laki-laki yang menganggap bahwa sepakbola adalah olahraga yang maskulin dan tidak pantas dimainkan oleh perempuan juga bertambah. Di tahun 1880an, sepakbola perempuan mulai mendapatkan ancaman. Sebuah pertandingan sepakbola perempuan di Glasgow bahkan sampai harus dihentikan setelah ratusan laki-laki merangsek masuk ke dalam lapangan. Para pemain perempuan itu pun lari tunggang langgang, dan meninggalkan tempat itu dengan kereta-kereta kuda.
Sejak saat itu, mulai muncul desakan untuk melarang perempuan bermain sepakbola. Apalagi, itu adalah era kekuasaan Ratu Victoria, di mana para perempuan memang dibatasi hak-haknya dan mulai digiring untuk ‘tinggal di rumah’. Kondisi semakin runyam ketika pada tahun 1894, para profesional di bidang kedokteran pun mengatakan bahwa perempuan harus dilarang dari sepakbola. Larangan itu memang belum benar-benar muncul, tetapi sepakbola perempuan terus ditekan perkembangannya. Tentu perlawanan tetap dilakukan oleh para perempuan, salah satunya yang ditunjukkan oleh Mary Hutson. Hutson, yang menggunakan nama samaran Nettie Honeyball, mendirikan sebuah tim yang diyakini sebagai tim sepakbola perempuan pertama yang ‘sebenarnya’, British Ladies Football Club, di tengah tekanan ideologi Victorian tersebut. Sebuah perlawanan yang ia lakukan dengan begitu serius, dengan tim yang menggunakan seragam yang pantas dan bermain dengan profesional sehingga membuat hadirnya penonton dalam jumlah yang besar. Mereka bahkan sempat melakukan tur di Inggris dan Skotlandia, dan melakoni sampai sekitar 20 pertandingan.
Tapi tentu saja, tekanan terhadap sepakbola perempuan tidak berhenti. Puncaknya terjadi pada tahun 1921, ketika secara resmi sepakbola perempuan benar-benar dilarang dimainkan di lapangan-lapangan milik Football League, karena menurut FA dalam pengakuannya di situs resminya saat ini, “…the game of football is quite unsuitable for females and ought not to be encouraged.”

Larangan tersebut sebetulnya ironis. Dua atau tiga tahun sebelumnya (data tahun mengenai ini agak simpang siur), sebuah pertandingan sepakbola perempuan, yang juga dilangsungkan di Glasgow, berhasil mendatangkan hingga 50.000 penonton, dan mengumpulkan uang senilai 150.000 pounds untuk aktivitas-aktivitas amal di masa perang. Sebuah jumlah yang menjadi rekor tersendiri dari segi penonton, dan jumlah uang yang tidak sedikit yang begitu berguna untuk masyarakat banyak yang terkena dampak Perang Dunia I.
Hal itu tentu tidak hanya terjadi di Inggris. Di negara-negara lain pun demikian. Tidak ada dukungan bagi para pesepakbola perempuan, bahkan ada juga yang memberikan larangan bermain sepakbola bagi para perempuan. Baik itu karena masalah kesehatan, maupun karena anggapan ‘menyalahi kodrat’. Pada akhirnya, sepakbola perempuan memang masih dimainkan, sebagian dengan sembunyi-sembunyi karena ada larangan, namun perkembangannya begitu terbatas. Sementara di saat yang sama, sepakbola laki-laki terus mengalami perkembangan dengan signifikan, dengan catatan sejarah yang begitu meriah…
***
Sepakbola perempuan baru mulai menggeliat lagi di tahun 1960an, yang mungkin juga disebabkan oleh munculnya gelombang kedua pergerakan feminisme dunia di dekade tersebut. Bahkan, sebuah gelaran Piala Dunia perempuan yang tak resmi sempat diadakan pada tahun 1970 di Italia dan 1971 di Meksiko. Benua Asia juga tak mau kalah. Pada tahun 1978, Asosiasi Sepakbola Cina-Taipei mengadakan World Women’s Invitational Football Tournaments, sebuah turnamen yang mengundang timnas-timnas perempuan negara-negara di dunia untuk ikut serta.  Hebatnya, turnamen ini bisa dilangsungkan secara reguler setiap tiga tahun sekali sampai tahun 1987. Tiga tahun sebelum gelaran perdana turnamen ini, Asian Ladies Football Confederation juga mengadakan Piala Asia untuk sepakbola perempuan untuk pertama kalinya.

FIFA baru benar-benar bergerak untuk memberikan wadah turnamen kelas dunia bagi sepakbola perempuan di akhir tahun 1980an tersebut. Itupun baru dilakukan setelah serangkaian desakan yang muncul dan menguat pada FIFA, salah satunya dari Ellen Wille, seorang delegasi dari Norwegia yang menghadiri Kongres FIFA ke-45 di Mexico City. Saat kongres berlangsung, Wille merebut mik lalu mengungkapkan tuntutannya dengan lantang, dengan mengatasnamakan federasi negaranya dan semua pesepakbola wanita, agar FIFA lebih memperhatikan dan mempromosikan sepakbola perempuan. Sebuah tuntutan yang membuat banyak laki-laki di kongres tersebut terperangah.

“Saya sudah berjuang untuk membuat sepakbola perempuan diakui di Norwegia, dan saya ingin melanjutkan perjuangan itu secara internasional,” katanya, dalam sebuah wawancara di tengah perhelatan Piala Dunia Wanita 2011 di Jerman. “Saya naik ke panggung di Kongres FIFA, dan menunjukkan bahwa sepakbola perempuan tidak dibicarakan sama sekali di dokumen manapun. Saya juga mengatakan bahwa sudah saatnya perempuan memiliki Piala Dunia mereka sendiri dan ambil bagian di turnamen sepakbola di Olimpiade.”
Sempat perlu diadakan sebuah Piala Dunia ‘rintisan’ di Cina pada tahun 1988 sebelum FIFA benar-benar berani melangsungkan Piala Dunia Perempuan perdana pada tahun 1991, juga di Cina. Bahkan ketika itu pun FIFA masih sedikit ragu sehingga istilah ‘Piala Dunia’ belum benar-benar diberikan oleh FIFA, dan harus menggunakan istilah ‘1st FIFA World Championship for Women's Football for the M&M's Cup’ (M&M’s adalah produk dari Mars, Inc., sponsor utama gelaran perdana tersebut).

Tapi setidaknya turnamen itu sukses dan ucapan Wille terbukti. Sepakbola perempuan memang memiliki daya tarik dan potensi yang selama ini tersembunyi karena keangkuhan para lelaki. Piala Dunia 1991 menjadi tonggak baru dalam sejarah sepakbola perempuan di muka bumi, karena setelah itu, perkembangannya memang begitu pesat. Elle Wille pun pantas disebut sebagai pahlawan sepakbola perempuan di era modern berkat perlawanannya yang berujung pada diterimanya sepakbola perempuan di badan sepakbola tertinggi di dunia, layaknya Honeyball yang mendapatkan predikat sebagai pionir sepakbola perempuan karena perlawanannya dulu. Sesuatu yang Wille sadari sepenuhnya.

“Di negara saya, mereka menyebut saya ibu sepakbola perempuan Norwegia.”

Simulacra Dan Hiperrealitas: Fantasi Liar Bursa Transfer

By Eddward Samadyo Kennedy

7nbj.jpg Anda pasti memiliki banyak fantasi dalam hidup, sama seperti saya. Mulai dari fantasi seksual (bercinta dua lawan satu dengan Madelyn Marie dan Sora Aoi di meja kantor, misalnya), hingga fantasi dalam dunia sepakbola. Bagaimana bentuk fantasi dalam dunia sepakbola? Sejauh yang saya ketahui, fantasi dalam sepakbola dapat mewujud dalam beberapa poin berikut: taktik tim, gaya bermain individu, atraksi suporter, kerusuhan sebuah laga, hingga aktivitas dalam bursa transfer. Karena menjelaskan semua hal tersebut dalam artikel ini sama saja seperti mengetik ulang novel Musashi-nya Eiji Yoshikawa alias akan sangat panjang, maka, dengan penuh tawaqal kepada Tuhan yang Maha Esa, saya hanya akan mencatut poin terakhir: fantasi dalam aktivitas bursa transfer.
Saya memiliki begitu banyak fantasi dalam bursa transfer, bahkan cenderung sangat liar. Bagaimana misalnya Barcelona memiliki Andrea Pirlo, apa jadinya jika Paolo Maldini dan Javier Zanetti bertukar klub, seandainya Paul Scholes pernah hijrah ke AC Milan, hingga macam apa keganasan Persipura jika Zlatan Ibrahimovic mendadak mau mengakhiri karirnya di tanah Papua. Daftar fantasi ini masih bisa saya perpanjang lagi, tetapi lebih baik tak usah. Sebab, “sesuatu yang berlebihan itu hanya akan melahirkan kesia-siaan”, demikian petuah motivator ternama asal Uganda, Idi Amin.
Tentu saja fantasi liar saya tersebut akan sangat musykil terjadi dalam realitas nyata. Untuk mengakalinya, saya memilih menggunakan media Playstation, di mana saya dapat memindahkan pemain mana saja yang saya sukai ke klub yang ingin saya mainkan. Kebiasaan asik tersebut tetap saya pelihara hingga bulan-bulan belakangan ini. Salah satu aktivitas perpindahan pemain seenak jidat yang saya lakukan adalah mencomot Neymar dari Santos ke Barcelona. Nomor punggungnya: 7. Saya kira, gaya bermain Neymar—yang kerap berperan sebagai inverted winger di sisi kiri—memiliki kecocokan untuk skema tiga penyerang Blaugrana. Tetapi ingat, itu hanya di Playstation.
Playstation, sebagaimana konsol permainan lain, adalah sebuah “sub-realitas” atau dunia yang “separuh nyata”. Ketika bermain Playstation, imajinasi Anda akan merasuk ke dalam layar kaca melalui gerak jari yang menekan stik, Anda akan termangu berjam-jam, mencaci kesalahan yang sebetulnya Anda buat sendiri, dan terheran-heran dengan gerakan spektakuler yang, sebenarnya juga berasal dari jari Anda sendiri. Tetapi, Anda akan tetap terpukau kendati telah memainkannya ratusan kali dan juga telah menyadari bahwa hal tersebut hanyalah rekayasa teknologi. Itulah dunia “sub-realitas”, atau meminjam istilah Jean Baudrillard: 'Simulacra', sebuah simulasi atas realitas.
Melalui bukunya “Simulacra and Simulations”, Baudrillard menjelaskan bahwa 'simulacra' adalah ruang di mana mekanisme simulasi berlangsung. Dalam konteks perkembangan teknologi virtual—untuk hal ini adalah Playstation—Anda sejatinya telah dijebak dalam ruang realitas seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Bahwa teknologi, kata Baudrillard, bukan lagi sekadar perpanjangan tubuh atau sistem syaraf manusia, tetapi  realitas baru dengan citra buatan dan menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi yang menjadi kenyataan, yang dapat melipat realitas ke dalam sebuah memory card atau flashdisk.
Menyenangkan, bukan? Tentu saja. Tetapi apakah efek terburuk dari 'simulacra'? 'Hiperrealitas': ketika masyarakat secara serempak telah meyakini bahwa realitas di dalam Playstation atau televisi-lah yang benar, yang nyata, bukan realitas yang terjadi sesungguhnya di sekitar mereka. Contoh yang paling sering dijadikan penjelasan dalam situasi terburuk dari 'hiperrealitas' adalah stereotipe fisik wanita yang digilai pria seperti dalam banyak iklan-iklan produk kecantikan.
Bahwa wanita cantik haruslah berambut lurus dan panjang, bertubuh sintal, tinggi semampai, syukur-syukur memiliki nafsu seksual seliar Alexis Texas di film-film produksi Brazzers. Sementara untuk pria, mereka yang dikejar-kejar wanita adalah yang bertubuh tegap, berdada bidang dan memiliki perut kotak-kotak seperti tetris. Lantaran banyak yang mengimani hal tersebut, maka tak usah heran jika di hari ini salah satu tempat yang paling sesak bukan lagi pada terminal atau stasiun, tetapi juga mal atau gym. Anda pria atau wanita gemuk, pendek, hitam, kumal, dan penyakitan? Segera serukan boikot pada produk-produk David Beckham atau Angelina Jolie.
Nah, 'simulacra' dalam bentuk 'hiperrealitas' pun juga mewujud dalam bursa transfer pemain sepakbola. Bagaimana bentuknya? Contoh paling nyata adalah ketika Florentino Perez mendatangkan David Beckham ke Real Madrid dari Manchester United 2003 silam, kendati saat itu di posisi yang sama—sayap kanan—sudah bercokol nama Luis Figo, yang secara teknik berkali-kali lipat jauh lebih bagus dari Beckham. Secara taktikal, pembelian Beckham jelas sia-sia, tetapi orang pintar yang minum Tolak Angin pasti paham bahwa tujuan Perez memboyongnya bukan untuk meraih trofi, melainkan sebagai brand, image, citra bagi Madrid.
Kedatangan Beckham ke Santiago Bernabeu adalah, seperti dalam istilah Baudrilaard, sebuah 'pseudo-event' yang lantas membuat silang-sengkarut antara hakikat utama dalam sepakbola itu sendiri seperti taktik, strategi, atau semangat merebut trofi dengan wacana simulasi. Inisiatif Perez memboyong Beckham itulah yang membawa Madrid ke dalam ruang 'hiperrealitas', bahwa Madrid dalam imaji Perez sebuah klub yang bukan hanya berisikan pemain-pemain terbaik, tetapi juga ikon-ikon sepakbola dunia. Sebuah fantasi yang kita kenal dengan nama: Los Galacticos.
Logika yang sama kembali dijalankan Perez ketika ia membangun Los Galacticos jilid II dengan memboyong Kaka dan Cristiano Ronaldo di tahun yang sama: 2009. Semua hal sejatinya berjalan baik hingga kemudian ia mendatangkan Jose Mourinho. Lupakan dulu apa yang terjadi di luar Madrid, seperti Barcelona-nya Pep Guardiola yang mengembalikan sepakbola kepada hakikatnya dan berhasil meluluhlantakkan Los Blancos berkali-kali.
Ada sebuah pepatah Aljazair (tentu saja ini saya karang sendiri) yang menyebutkan bahwa menempatkan dua megalomaniak dalam kandang yang sama adalah hal yang salah. Itulah yang terjadi di Madrid era Mourinho. Sekuat apapun Mourinho merebut perhatian media agar anak buahnya tak terganggu dan dapat bermain maksimal, tetap saja Ronaldo selalu asik diliput. Begitu pun sebaliknya: seheboh apapun Ronaldo caper kepada media, kata-kata yang keluar dari mulut Mourinho kerap ditunggu-tunggu. Secara taktik, Madrid tetap menjadi predator, tetapi dalam logika bisnis, mempertahankan keduanya adalah bunuh diri. Salah satu harus ada yang minggat, dan kita tahu siapa yang akhirnya pergi di antara Mourinho dan Ronaldo.
Nuansa 'hiperrealitas' pun juga kerap hadir di klub seteru Madrid: Barcelona. Akan tetapi, berbeda dengan Madrid yang mengedepankan citra di luar konteks permainan sepakbola, 'hiperrealitas' Barca justru hadir di atas lapangan melalui pemain-pemain mereka. Tengoklah maestro-maestri jebolan Barca: Johan Cruyff, Diego Maradona, Ronaldo (Brazil), Ronaldinho hingga kini Lionel Messi. Fantasi yang ditujukan mereka adalah fantasi dari kaki ke kaki, liukan-liukan artistik, umpan-umpan magis, hingga pesona taktikal yang aduhai indahnya.
Ronaldinho, misalnya. Dalam wacana 'simulacra' komersial saat ini, membandingkan Ronaldinho secara fisik dengan Beckham adalah dagelan yang selalu lucu. Jika Beckham adalah matahari tenggelam yang selalu ditunggu banyak fotografer, maka Ronaldinho adalah pedagang kaki lima yang sering diusir paksa Satpol PP dengan alasan: “merusak pemandangan”. Anda boleh marah, tetapi seluruh wanita di dunia ini akan mencambuk Anda.
Kendati demikian, siapa saja tentu setuju bahwa skill olah bola Ronaldinho membuatnya seperti lukisan Corner of the Garden at Montgeron karya Claude Monet: penuh impresi, berwarna, bercahaya. Seperti itulah Ronaldinho saat bermain. Ia juga adalah salah satu keberhasilan 'simulacra' Barcelona dalam upaya menandingi kekuatan fulus Madrid pada bursa transfer. Dan, tentu saja, kemenangan Barca atas (ketampanan) Beckham.
Kini, saya terkejut bahwa Barca ternyata benar-benar mendatangkan Neymar, si “Justin Bieber of Football” kata Joey Barton. Dugaan saya, Barca sepertinya tengah menerapkan metode yang sama seperti saat mendatangkan Ronaldinho. Dengan usia yang masih 21 tahun dan teknik yang luar biasa, Neymar jelas menjadi paket lengkap bagi Barca untuk merebut citra Madrid.
Akan tetapi, kritikan kepada Barca justru datang lantaran mendatangkan Neymar. Salah satunya dari Cruyff, yang menyebut bahwa secara taktik, hadirnya Neymar hanya akan merusak skema “Messi-sentris”. Saya pribadi menolak sepakat dengan Cruyff. Buktinya saya asik-asik saja memainkan Barca di FIFA 2013 dengan tridente Neymar-Messi-Pedro. Hello, Cruyff, IQ?
Sejatinya, masih ada banyak cerita tentang 'simulacra' dan bentuk 'hiperrealitas' lain dalam bursa transfer, atau dalam jagat sepakbola yang tak dapat dijabarkan di sini. Pada akhirnya, sepakbola (olahraga) bukan lagi soal taktik atau strategi, raihan trofi atau medali, tetapi, seperti yang pernah ditulis Baudrilaard dalam The Transparency of Evil: “Sport itself … is no longer located in sport as such, but instead in business, in sex, in politics, in the general style of performance.”
Oh, iya, kira-kira kalau Mario Balotelli hijrah ke Madura United cocok ga, ya?

Selebrasi Untuk Dikenang: Luapan Emosi, Manifesto Pemberontakan Dan Rasa Syukur

By Marini Anggitya,


98sudklempdrsc.jpg Dunia menyukai hal yang meledak-ledak. Begitu pula sepakbola. Coba renungkan dalam kurun waktu sembilan puluh menit itu ada berapa banyak pesepakbola yang rela melakukan apapun agar dapat berteriak dengan gaharnya, berlari ke arah tribun penonton, mengacungkan tinju ke udara, menari bersama rekan satu tim ataupun memeluk pelatih di tengah-tengah pertandingan. Waktunya memang hanya sekitar satu menit. Namun euforianya bisa sampai bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.
Luapan emosi pasca menyarangkan bola ke gawang lawan memang menjadi hal yang paling menyenangkan untuk dinikmati hampir di seluruh pertandingan. Jangankan mereka yang mencetak gol, kita yang menyaksikannya saja – entah secara langsung di stadion ataupun melalui perpanjangan tangan berbagai media – pun dapat terlarut di dalamnya. Aku masih mengingat dengan jelas sewaktu harus bersusah payah mengendalikan diri sesaat setelah Pippo Inzaghi menjebol gawang Liverpool dalam partai final perhelatan UEFA Champions League 2007 silam.
Golnya memang tidak sespektakuler sentuhan tangan tuhan ala Maradona atau sarat kejeniusan ala Matthew Le “God” Tissier. Sebelum mencapai menit delapan puluh dua pertandingan itu tak ubahnya cara terbaik untuk menaikkan tekanan darah. Lantas Kaka menerima operan bola yang dilambungkan oleh Massimo Oddo. Selanjutnya adalah romantisme yang jauh lebih menyentuh daripada cerita cinta kacangan manapun. Kaka sadar siapa orang yang akan membuatnya menjadi bagian dari penguasa Eropa. Usai mengacaukan barisan pertahanan Liverpool, ia menyerahkan semuanya pada Inzaghi. Inzaghi sadar kalau momentum itu hanya akan berlangsung sepersekian menit. Entah kekuatan seperti apa yang mendadak merasukinya. Bola itu bersarang dengan indahnya pasca aksi mengelabui sang penjaga gawang.
Selanjutnya ia berlari dengan cepat menuju bendera di sudut lapangan, menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan tribun penonton, berteriak dengan gaharnya – teriakan yang sama dengan apa yang terdengar pada 13 Mei 2012 yang lalu. Hari yang menjadi hari terakhirnya sebagai seorang pesepakbola. Teriakan yang membuat siapapun ikut terlarut dalam emosinya yang meluap-luap, teriakan yang membuat chants yang menyerukan superioritasnya mengalir begitu saja dalam kemegahannya.
Tentang luapan emosi, mungkin Bebeto yang menjadi tandem Romario dalam perhelatan Piala Dunia 1994 tidak semeledak-meledak Inzaghi. Tidak ada histeria yang memekakkan telinga, tidak ada gerakan memukul-mukul emblem klub yang berarti pengabdian, tidak ada tinju yang teracung ke udara sebagai wujud dari arogansi. Yang ada hanyalah kedua tangan yang diletakkan di depan dada, lalu ayunan ke kanan dan kiri layaknya menimang bayi. Mungkin hari itu Bebeto ingin membagikan apa yang sebentar lagi akan menjadi kebahagiannya. Tentang kerelaannya untuk tidak lagi terlalu terlarut dalam kebanggaan dunia yang meledak-ledak. Tentang kesiapannya untuk menerima kebahagiaan dalam wujud seorang bayi laki-laki, bayi yang akan ia ninabobokan dengan cerita manis tentang sang ayah yang mengajak seluruh dunia menyambut kehadirannya ke dunia.
Luapan emosi itu mungkin tak akan berarti jika tak sampai kepada orang-orang yang berarti. Mungkin hal ini yang disadari oleh Mario Balotelli. Tumbuh sebagai pesepakbola dengan image berandalan, menghiasi ranah sepakbola dengan pembawaan yang dingin – siapa yang sangka jika ia justru mempertontonkan luapan emosi dengan cara yang manis dan sentimentil sesaat setelah Italia memastikan diri untuk lolos ke putaran final Piala Eropa 2012? Detik-detik emosional ini tergambar dengan jelas saat Balotelli berlari ke arah tribun penonton, memeluk orang tua angkatnya yang sedari awal menyaksikan jalannya laga. Apa yang selanjutnya terjadi adalah mereka yang terlarut dalam tangisan haru. Ada bahagia, ada kebanggaan, ada emosi yang menjadi milik mereka namun tetap dapat dinikmati oleh sispapun yang menyaksikan laga itu.
Lepas dari segala nikmatnya meluapkan emosi di lapangan hijau - secara pribadi, aku memandang kehidupan sebagai pesepakbola tidaklah mudah. Ah, lagipula sepertinya hidup tidak pernah berkodrat untuk menjadi mudah – apapun bentuk kehidupan dan kemudahan itu. Tekanan demi tekanan, tuntutan untuk menjadi figur yang sempurna adalah hal yang harus ditelan bulat-bulat oleh mereka yang berjibaku di atas lapangan hijau. Rasanya tak ada mata yang sudi untuk terpejam barang sebentar saja atas apa yang mereka lakukan.
Perhatian yang begitu besar mungkin sekilas terlihat sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bagi kita yang mungkin sering luput dari perhatian publik, menikmati perhatian menjadi semacam sebuah adiksi. Wajar saja kalau ada begitu banyak orang yang rela melakukan apapun demi menarik perhatian belaka. Kata mereka, mencari sensasi.
Namun pada dasarnya sesuatu yang berlebihan tak akan pernah menjadi hal yang baik. Sejumlah pesepakbola menyadari ini, ada rasa jengah saat kehidupan mereka menjadi santapan publik. Secuil kesalahan sepele bisa menjadi gembar-gembor yang luar biasa menyudutkan. Hal-hal yang sejatinya tak ada bisa menjadi ada di mata publik. Dan para pesepakbola, merekalah yang berada di ujung tanduk. Sangat manusiawi jika mereka ingin memberontak  dan memanifestasikan kalau mereka yang sebenarnya bukanlah pesepakbola yang lebih banyak menuai kontroversi kosong dibandingkan prestasi. Namun di antara sederet nama besar dan gelimangan harta yang mereka nikmati – hal semacam ini tentu menjadi risiko yang mau tidak mau harus diterima.
Sebagai pesepakbola, satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk memberontak adalah dengan menjadi pesepakbola yang hebat. Membuktikan bahwa nama besar mereka bukan hanya karena rentetan skandal tetapi sederet prestasi tampaknya menjadi balas dendam terbaik. Entah ini berlebihan atau tidak, tetapi aku terlanjur meyakini bahwa selebrasi para penggawa lapangan hijau itu juga berarti pemberontakan.
10 Mei 1998, ia adalah satu dari dua puluh dua orang pria yang berlaga di tengah-tengah kemegahan lengkap dengan gemuruh kebangaan Delle Alpi. Namanya memang mendunia, kualitasnya sama sekali tak layak untuk disamakan dengan pesepakbola khas kemarin sore. Beberapa musim lalu, stadion ini adalah rumahnya. Tempat paling nyaman untuk mencetak gol, tempat terbaik untuk mendulang prestasi. Namun terkadang ada rumah yang tak selamanya bisa menjadi rumah. Ada saat di mana kita memang harus meninggalkan rumah, ada saat kita memang harus terusir dari rumah.
Minggu-minggu sebelumnya tidak menjadi minggu yang mudah untuknya. Ada cercaan yang seolah tak putus atas keputusan yang diambilnya. Kata mereka karirnya akan segera berakhir.
Lantas, hari itu ia dengan tenang menerima umpan pemain tengah Bologna yang lolos dari kepungan tiga pemain Juventus. Beradu cepat dengan seorang defender Juventus yang mengejarnya lantas mengarahkan bola tepat di depan mulut gawang yang dikawal oleh Angelo Peruzzi. Sesaat setelah menyarangkan bola di gawang lawan yang dulu menjadi kawan, ia berlari mengelilingi Delle Alpi. Mengatupkan tangan pada telinganya. Namun telinganya hanya mampu menangkap kesunyian tanpa mampu menangkap gemuruh bahkan bisikan cemooh apapun. Sesunyi rumah yang ditinggalkan penghuninya. Ia memang bukan seorang pangeran berkuncir lagi, ia Roberto Baggio yang telah lahir kembali. Roberto Baggio yang sanggup membungkam mulut-mulut yang penuh cecar.
Bukan hanya Roberto Baggio yang memberontak lewat selebrasi golnya. Adalah legenda Liverpool, Robbie Fowler yang juga pernah melakukannya. Fowler memang terkenal meledak-ledak, dulu aku sering memandangnya sebagai pesepakbola labil. Entah apa yang membuat pendukung Everton mengalamatkan tuduhan sebagai pecandu kokain padanya. Yang jelas segala tuduhan ini dijawabnya dengan elegansi khas pesepakbola.
Ditunjuk sebagai algojo kotak penalti di lima belas menit awal pertandingan, pesepakbola Inggris ini memang tidak menyia-nyiakan kesempatannya. Sesaat setelah melesatkan tendangan ke arah tengah gawang ia berlari menuju garis gawang. Membungkukkan badan, mempertontonkan gelagat layaknya seorang pecandu yang tengah menghisap kokain lewat hidungnya. Masa bodoh dengan denda dan larangan bermain, yang terpenting pada Derby Merseyside 3 April 1999 itu ia sudah berhasil memberontak terhadap tuduhan tak beralasan para pendukung lawan.
Siapa yang tak mengenal Mario Balotelli? Selain sebagai pesepakbola, mungkin Tuhan juga mengatur garis hidupnya untuk selalu menjadi sosok yang begitu menarik perhatian. Selain legenda Brasil – Socrates – Balotelli juga termasuk ke dalam golongan pesepakbola yang mengusung “kontradiksi” sebagai nama tengahnya.
Tentangnya selalu ada banyak pertanyaan. Pertanyaan yang membuatku terheran-heran sekaligus tersihir akan akurasi tendangan penalti dan pilihannya untuk merayakan gol tanpa selebrasi. Bagiku tidak ada selebrasi yang lebih angkuh dan dingin daripada aksi diamnya. Semacam menyaksikan elegansi dari arogansi yang tak bermakna omong kosong.
Aku bukan orang dengan kekuatan super yang mampu membaca pikiran makhluk lain, namun mungkin saja selebrasi yang tak divisualisasikannya ini juga berarti tawa bermakna ejekan kepada mereka yang cenderung sibuk untuk mengurusi kehidupan pribadi dan sosialnya di luar konteks ia sebagai pesepakbola. Selebrasi sebagai manifesto dari sebuah metafora yang ingin ia sampaikan. Sebuah metafora tentang seorang tukang pos yang tak akan berjingkrak-jingkrak kegirangan usai mengantarkan surat-surat yang menjadi tanggungjawabnya.
Secara pribadi aku bukan orang yang mudah takjub akan hal-hal yang berbau religius. Semacam kecenderungan untuk membiarkan hal itu agar menjadi urusan pribadiku dengan Tuhan. Namun terkadang drama lapangan hijau juga sampai pada titik klimaksnya saat ia menyentuh sisi religius .
Mungkin aku akan memandang dengan muak jika orang yang berselebrasi dengan mempertontonkan kalimat “I Belong to Jesus” sambil berlutut dan mengarahkan kedua telunjuk ke udara itu bukanlah seorang Ricardo Kaka. Namun Kaka memang pesepakbola yang dikenal dengan image pria baik-baik. Image yang disempurnakannya melalui kerja keras di lapangan hijau. Sebagai penghubung antara gelandang dan targetman, liuk tubuhnya selalu menggambarkan kebebasan dalam menjelajah wilayah pertahanan lawan. Mempertontonkan daya magis yang menjadi perpaduan antara kemolekan sepakbola tanah nenek moyangnya yang mendarah-daging dan efektivitas hasil racikan seorang jenius Italia. Kebebasan dan keindahan yang pada akhirnya dikembalikan dalam bentuk syukur kepada Dia yang memberikan anugerah semacam itu kepadanya.
Walaupun tak ada yang paham isi hati seseorang, walaupun terkadang kenyataan tidak sama dengan apa yang terlihat – mungkin melalui sujud syukurnya, Demba Ba ingin menunjukkan kalau apapun yang dapat ia lakukan dan miliki tak pernah lepas dari campur tanganNya. Tentang bagaimana Ia turut ambil bagian untuk menempatkannya dalam posisi yang tepat untuk memanfaatkan momentum beberapa detik itu. Mungkin Demba Ba menyadari ini, bahwa superioritasnya sebagai pesepakbola tak akan pernah lepas dari kendali Tangan-Tangan Tak Terlihat itu.
Dan bicara tentang rasa syukur, rasanya tak ada rasa syukur yang lebih menyentuh titik terdalam yang dimiliki oleh seluruh penikmat sepakbola di tanah air ini selain apa yang dilakukan oleh Indra Sjafri bersama anak-anak asuhnya. Tentang spontanitas yang membawa kita kepada pemahaman akan wujud gairah bersepakbola yang sebenarnya.
Mungkin kita pernah menangis haru saat menyaksikan Baggio yang telah berpredikat sebagai penggawa Juventus menangis usai membobol gawang Fiorentina. Mungkin kita pernah terenyuh dengan selebrasi yang berarti kebahagiaan yang dipertontonkan oleh para pesepakbola Tahiti di perhelatan Piala Konfederasi beberapa waktu yang lalu. Namun tetap saja tak ada yang lebih mengharukan dibandingkan saat mereka merayakan gol yang berarti kemenangan, kemenangan yang berarti ukiran sejarah yang baru setelah dua puluh dua tahun silam. Perayaan yang memvisualisasikan kerendahan hati. Perayaan yang membuktikan bahwa sesungguhnya seseorang hanya akan ditinggikan saat ia merelakan diri untuk merendah. Sebagai penikmat sepakbola, tak ada rasa syukur yang lebih besar karena pada akhirnya aku menyaksikan sendiri sejarah baru yang nantinya akan aku ceritakan kepada siapapun yang menjadi anak-cucuku.
Mungkin selebrasi pasca menceploskan gol ke gawang lawan itu hanya terjadi dalam kurun waktu satu sampai dua menit. Namun sesingkat apapun itu, aku terlalu percaya kalau selalu ada makna yang menjadi kebahagiaan dan kebanggaan personal bagi mereka yang membuahkan gol. Selama ini kita terlanjur terlena dengan hal-hal berdurasi panjang, namun mungkin hal-hal dengan makna yang tak biasa tak perlu dipertontonkan dalam waktu yang lama. Karena bukannya tak mungkin, visualisasi yang berlarut-larut dan berlebihan hanya akan membutakan seseorang – membuatnya tak mampu melihat kesempatan untuk menikmati pencapaian yang jauh lebih membanggakan dan membahagiakan yang sesungguhnya sudah menanti di depan mata.

Ditulis oleh : Marini Anggitya

Sponsor Mendefinisi Jersey Sebuah Klub Sepak Bola

By Pangeran Siahaan


44Suleys-Soccer-Jerseys-540x406.jpg Saya harus mengakui bahwa Haruki Murakami merusak ritme hidup saya dalam sebulan terakhir. Sejak saya membuka lembar pertama buku hardcover 1Q84, saya tak bisa melepaskannya dari tangan saya seperti Jim Carey tak bisa mencopot topeng The Mask dari wajah karetnya tersebut. Inilah mengapa saya menunda-nunda membaca 1Q84 meski buku tersebut sudah teronggok di lemari sejak akhir 2011. Pelajaran dari membaca buku-buku Murakami sebelumnya: level adiksinya setara dengan Football Manager.
Praktis dalam sebulan terakhir sebagian besar dari 24 jam waktu saya dalam sehari habis untuk Murakami dan sepak bola. Bahkan Murakami mulai berani-beraninya mengalihkan fokus saya dari sepak bola.
Beberapa hari yang lalu saat saya sedang berjalan tak tentu arah di Orchard Road, saya masuk ke sebuah toko sepak bola yang bukan langganan saya. Seperti halnya window shopper teladan yang kerap membolak-balik etalase tanpa ada maksud untuk membeli, saya melihat beberapa jersey sepak bola tergantung. Saya mencoba melihat apakah ada jersey Southampton atau Swansea di sana dengan harapan tipis karena memang jersey kedua klub hipster tersebut tak masuk Asia tenggara.
Lalu tak sengaja saya tiba di sebuah seksi  yang khusus memuat jersey-jersey MLS. Ini jersey-jersey yang tak dimiliki orang banyak dan alangkah hipsternya jika saya memiliki salah satunya. Dengan cekatan saya memilih-milih antara jersey Columbus Crew, Toronto FC, Real Salt Lake, dan Portland Timbers. LA Galaxy tak saya acuhkan karena sudah tidak hipster lagi.
Tapi satu jersey yang menarik perhatian saya adalah jersey New England Revolution. Klub ini bukan klub besar, bahkan untuk ukuran MLS, tapi desain jerseynya membuat saya terperangah sejenak. Di bagian dada sebelah kiri ada lambang klub yang bergambar artwork bendera Amerika yang dimanipulasi sedemikian rupa. Di bagian tengah, tempat biasanya bertengger nama sponsor, tertulis kata “Revolution”.
Fakta bahwa yang tertera di situ bukan nama sponsor bisa diatributkan pada ketidakmampuan New England Revolution untuk menarik sponsor yang mau memberi uang dengan kompensasi terpampang di jersey. Tapi yang membuat saya tertarik, kapan terakhir kali ada klub sepak bola yang menaruh nama klubnya sendiri di tengah-tengah jersey yang notabene adalah lahan iklan bonafid?
Salah satu alasan keengganan beberapa orang membeli jersey sepak bola adalah mereka ogah berpartisipasi dalam skema bisnis sepak bola modern dan menjadi papan iklan berjalan. Tapi memang jersey sepak bola adalah sebuah lahan iklan yang menggiurkan. Rekan-rekan saya yang lain bisa menghitung kalkulasi matematis dari harga rata-rata beriklan di jersey sebuah klub, tapi bahkan tanpa angka-angka tersebut, anda tahu bahwa beriklan di jersey sebuah klub (terlebih klub besar) adalah alat bisnis yang efektif.
Beriklan di jersey sepak bola bukan hanya membuat nama produk anda terpampang di dada para pemain dalam pertandingang yang disiarkan ke seluruh dunia, tapi juga akan terpampang di dada para fans yang membeli jersey tersebut sebagai sebuah merchandise keagamaan. Mereka akan dengan senang hati memakai jersey tersebut dan tak keberatan untuk menjadi papan iklan berjalan. Ini hebatnya sepak bola modern.
Maka tak heran jika jersey sebuah klub sepak bola dewasa  ini didefinisikan oleh sponsor yang terpampang di dada. Mereka yang besar di tahun 90an langsung bisa membedakan bahwa jersey itu Manchester United jika bertuliskan Sharp dan Liverpool bisa bertuliskan Carlsberg. Jika bukan Sharp dan bukan Carlsberg, maka itu pasti jersey klub lain.
Tak heran ketika United berganti sponsor dari Sharp ke Vodafone, maka kita harus melakukan penyesuaian visual. Kita tak biasa melihat jersey United bersponsor lain.
Karena sponsor mendapat porsi yang lebih besar di jersey, jauh lebih besar dari lambang klub, maka sponsor-sponsor di dada inilah yang mendefinisikan jersey klub.
 Jika kita melihat orang dari kejauhan berbaju biru dan bertuliskan Pirelli di dada, kita langsung sadar bahwa itu adalah jersey Inter Milan. Ada jersey bergaris hitam-putih, apakah itu jersey Juventus atau Newcastle United? Lihat saja sponsornya apakah Jeep atau Virgin.
Sama seperti jersey Manchester City dan Lazio, keduanya sama-sama berwarna biru muda dan dari dekat anda bisa melihat lambang kedua klub. Tapi dari jarak 50 meter, yang menjadi pembeda apakah jersey tersebut bertuliskan Etihad atau tidak.
Ukuran logo klub yang jauh lebih kecil dibanding logo sponsor seperti menyiratkan bahwa ruang kepentingan yang dimiliki keduanya pun berbeda. Klub menyediakan ruang besar untuk mengakomodasi sponsor dan karena keduanya saling membutuhkan, maka ini adalah sebuah simbiosis mutualisme. Tapi fans harus menerima bahwa dalam jersey yang merupakan identitas sebuah klub, dan dengan sendirinya menjadi identitas dari para fans, sponsorlah yang mendapat sorotan terbesar, bukan klub.
Karena ini sudah berlangsung lama, maka kita menganggap kenyataan ini sebagai sesuatu yang taken for granted. Memang demikian adanya. Alamiah.
Seperti kata Murakami, jangan biarkan penampilan menipu anda karena segala sesuatu tidak terlihat seperti sebenarnya. Hanya ada satu realitas dan realitas itu adalah sponsorlah yang mendefinisikan jersey sebuah klub.
Jika ada yang mengatakan sebaliknya, maka anda tinggal menyuruh orang itu untuk menengok sekitar.