Kamis, 12 Februari 2015

Selebrasi Untuk Dikenang: Luapan Emosi, Manifesto Pemberontakan Dan Rasa Syukur

By Marini Anggitya,


98sudklempdrsc.jpg Dunia menyukai hal yang meledak-ledak. Begitu pula sepakbola. Coba renungkan dalam kurun waktu sembilan puluh menit itu ada berapa banyak pesepakbola yang rela melakukan apapun agar dapat berteriak dengan gaharnya, berlari ke arah tribun penonton, mengacungkan tinju ke udara, menari bersama rekan satu tim ataupun memeluk pelatih di tengah-tengah pertandingan. Waktunya memang hanya sekitar satu menit. Namun euforianya bisa sampai bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.
Luapan emosi pasca menyarangkan bola ke gawang lawan memang menjadi hal yang paling menyenangkan untuk dinikmati hampir di seluruh pertandingan. Jangankan mereka yang mencetak gol, kita yang menyaksikannya saja – entah secara langsung di stadion ataupun melalui perpanjangan tangan berbagai media – pun dapat terlarut di dalamnya. Aku masih mengingat dengan jelas sewaktu harus bersusah payah mengendalikan diri sesaat setelah Pippo Inzaghi menjebol gawang Liverpool dalam partai final perhelatan UEFA Champions League 2007 silam.
Golnya memang tidak sespektakuler sentuhan tangan tuhan ala Maradona atau sarat kejeniusan ala Matthew Le “God” Tissier. Sebelum mencapai menit delapan puluh dua pertandingan itu tak ubahnya cara terbaik untuk menaikkan tekanan darah. Lantas Kaka menerima operan bola yang dilambungkan oleh Massimo Oddo. Selanjutnya adalah romantisme yang jauh lebih menyentuh daripada cerita cinta kacangan manapun. Kaka sadar siapa orang yang akan membuatnya menjadi bagian dari penguasa Eropa. Usai mengacaukan barisan pertahanan Liverpool, ia menyerahkan semuanya pada Inzaghi. Inzaghi sadar kalau momentum itu hanya akan berlangsung sepersekian menit. Entah kekuatan seperti apa yang mendadak merasukinya. Bola itu bersarang dengan indahnya pasca aksi mengelabui sang penjaga gawang.
Selanjutnya ia berlari dengan cepat menuju bendera di sudut lapangan, menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan tribun penonton, berteriak dengan gaharnya – teriakan yang sama dengan apa yang terdengar pada 13 Mei 2012 yang lalu. Hari yang menjadi hari terakhirnya sebagai seorang pesepakbola. Teriakan yang membuat siapapun ikut terlarut dalam emosinya yang meluap-luap, teriakan yang membuat chants yang menyerukan superioritasnya mengalir begitu saja dalam kemegahannya.
Tentang luapan emosi, mungkin Bebeto yang menjadi tandem Romario dalam perhelatan Piala Dunia 1994 tidak semeledak-meledak Inzaghi. Tidak ada histeria yang memekakkan telinga, tidak ada gerakan memukul-mukul emblem klub yang berarti pengabdian, tidak ada tinju yang teracung ke udara sebagai wujud dari arogansi. Yang ada hanyalah kedua tangan yang diletakkan di depan dada, lalu ayunan ke kanan dan kiri layaknya menimang bayi. Mungkin hari itu Bebeto ingin membagikan apa yang sebentar lagi akan menjadi kebahagiannya. Tentang kerelaannya untuk tidak lagi terlalu terlarut dalam kebanggaan dunia yang meledak-ledak. Tentang kesiapannya untuk menerima kebahagiaan dalam wujud seorang bayi laki-laki, bayi yang akan ia ninabobokan dengan cerita manis tentang sang ayah yang mengajak seluruh dunia menyambut kehadirannya ke dunia.
Luapan emosi itu mungkin tak akan berarti jika tak sampai kepada orang-orang yang berarti. Mungkin hal ini yang disadari oleh Mario Balotelli. Tumbuh sebagai pesepakbola dengan image berandalan, menghiasi ranah sepakbola dengan pembawaan yang dingin – siapa yang sangka jika ia justru mempertontonkan luapan emosi dengan cara yang manis dan sentimentil sesaat setelah Italia memastikan diri untuk lolos ke putaran final Piala Eropa 2012? Detik-detik emosional ini tergambar dengan jelas saat Balotelli berlari ke arah tribun penonton, memeluk orang tua angkatnya yang sedari awal menyaksikan jalannya laga. Apa yang selanjutnya terjadi adalah mereka yang terlarut dalam tangisan haru. Ada bahagia, ada kebanggaan, ada emosi yang menjadi milik mereka namun tetap dapat dinikmati oleh sispapun yang menyaksikan laga itu.
Lepas dari segala nikmatnya meluapkan emosi di lapangan hijau - secara pribadi, aku memandang kehidupan sebagai pesepakbola tidaklah mudah. Ah, lagipula sepertinya hidup tidak pernah berkodrat untuk menjadi mudah – apapun bentuk kehidupan dan kemudahan itu. Tekanan demi tekanan, tuntutan untuk menjadi figur yang sempurna adalah hal yang harus ditelan bulat-bulat oleh mereka yang berjibaku di atas lapangan hijau. Rasanya tak ada mata yang sudi untuk terpejam barang sebentar saja atas apa yang mereka lakukan.
Perhatian yang begitu besar mungkin sekilas terlihat sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bagi kita yang mungkin sering luput dari perhatian publik, menikmati perhatian menjadi semacam sebuah adiksi. Wajar saja kalau ada begitu banyak orang yang rela melakukan apapun demi menarik perhatian belaka. Kata mereka, mencari sensasi.
Namun pada dasarnya sesuatu yang berlebihan tak akan pernah menjadi hal yang baik. Sejumlah pesepakbola menyadari ini, ada rasa jengah saat kehidupan mereka menjadi santapan publik. Secuil kesalahan sepele bisa menjadi gembar-gembor yang luar biasa menyudutkan. Hal-hal yang sejatinya tak ada bisa menjadi ada di mata publik. Dan para pesepakbola, merekalah yang berada di ujung tanduk. Sangat manusiawi jika mereka ingin memberontak  dan memanifestasikan kalau mereka yang sebenarnya bukanlah pesepakbola yang lebih banyak menuai kontroversi kosong dibandingkan prestasi. Namun di antara sederet nama besar dan gelimangan harta yang mereka nikmati – hal semacam ini tentu menjadi risiko yang mau tidak mau harus diterima.
Sebagai pesepakbola, satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk memberontak adalah dengan menjadi pesepakbola yang hebat. Membuktikan bahwa nama besar mereka bukan hanya karena rentetan skandal tetapi sederet prestasi tampaknya menjadi balas dendam terbaik. Entah ini berlebihan atau tidak, tetapi aku terlanjur meyakini bahwa selebrasi para penggawa lapangan hijau itu juga berarti pemberontakan.
10 Mei 1998, ia adalah satu dari dua puluh dua orang pria yang berlaga di tengah-tengah kemegahan lengkap dengan gemuruh kebangaan Delle Alpi. Namanya memang mendunia, kualitasnya sama sekali tak layak untuk disamakan dengan pesepakbola khas kemarin sore. Beberapa musim lalu, stadion ini adalah rumahnya. Tempat paling nyaman untuk mencetak gol, tempat terbaik untuk mendulang prestasi. Namun terkadang ada rumah yang tak selamanya bisa menjadi rumah. Ada saat di mana kita memang harus meninggalkan rumah, ada saat kita memang harus terusir dari rumah.
Minggu-minggu sebelumnya tidak menjadi minggu yang mudah untuknya. Ada cercaan yang seolah tak putus atas keputusan yang diambilnya. Kata mereka karirnya akan segera berakhir.
Lantas, hari itu ia dengan tenang menerima umpan pemain tengah Bologna yang lolos dari kepungan tiga pemain Juventus. Beradu cepat dengan seorang defender Juventus yang mengejarnya lantas mengarahkan bola tepat di depan mulut gawang yang dikawal oleh Angelo Peruzzi. Sesaat setelah menyarangkan bola di gawang lawan yang dulu menjadi kawan, ia berlari mengelilingi Delle Alpi. Mengatupkan tangan pada telinganya. Namun telinganya hanya mampu menangkap kesunyian tanpa mampu menangkap gemuruh bahkan bisikan cemooh apapun. Sesunyi rumah yang ditinggalkan penghuninya. Ia memang bukan seorang pangeran berkuncir lagi, ia Roberto Baggio yang telah lahir kembali. Roberto Baggio yang sanggup membungkam mulut-mulut yang penuh cecar.
Bukan hanya Roberto Baggio yang memberontak lewat selebrasi golnya. Adalah legenda Liverpool, Robbie Fowler yang juga pernah melakukannya. Fowler memang terkenal meledak-ledak, dulu aku sering memandangnya sebagai pesepakbola labil. Entah apa yang membuat pendukung Everton mengalamatkan tuduhan sebagai pecandu kokain padanya. Yang jelas segala tuduhan ini dijawabnya dengan elegansi khas pesepakbola.
Ditunjuk sebagai algojo kotak penalti di lima belas menit awal pertandingan, pesepakbola Inggris ini memang tidak menyia-nyiakan kesempatannya. Sesaat setelah melesatkan tendangan ke arah tengah gawang ia berlari menuju garis gawang. Membungkukkan badan, mempertontonkan gelagat layaknya seorang pecandu yang tengah menghisap kokain lewat hidungnya. Masa bodoh dengan denda dan larangan bermain, yang terpenting pada Derby Merseyside 3 April 1999 itu ia sudah berhasil memberontak terhadap tuduhan tak beralasan para pendukung lawan.
Siapa yang tak mengenal Mario Balotelli? Selain sebagai pesepakbola, mungkin Tuhan juga mengatur garis hidupnya untuk selalu menjadi sosok yang begitu menarik perhatian. Selain legenda Brasil – Socrates – Balotelli juga termasuk ke dalam golongan pesepakbola yang mengusung “kontradiksi” sebagai nama tengahnya.
Tentangnya selalu ada banyak pertanyaan. Pertanyaan yang membuatku terheran-heran sekaligus tersihir akan akurasi tendangan penalti dan pilihannya untuk merayakan gol tanpa selebrasi. Bagiku tidak ada selebrasi yang lebih angkuh dan dingin daripada aksi diamnya. Semacam menyaksikan elegansi dari arogansi yang tak bermakna omong kosong.
Aku bukan orang dengan kekuatan super yang mampu membaca pikiran makhluk lain, namun mungkin saja selebrasi yang tak divisualisasikannya ini juga berarti tawa bermakna ejekan kepada mereka yang cenderung sibuk untuk mengurusi kehidupan pribadi dan sosialnya di luar konteks ia sebagai pesepakbola. Selebrasi sebagai manifesto dari sebuah metafora yang ingin ia sampaikan. Sebuah metafora tentang seorang tukang pos yang tak akan berjingkrak-jingkrak kegirangan usai mengantarkan surat-surat yang menjadi tanggungjawabnya.
Secara pribadi aku bukan orang yang mudah takjub akan hal-hal yang berbau religius. Semacam kecenderungan untuk membiarkan hal itu agar menjadi urusan pribadiku dengan Tuhan. Namun terkadang drama lapangan hijau juga sampai pada titik klimaksnya saat ia menyentuh sisi religius .
Mungkin aku akan memandang dengan muak jika orang yang berselebrasi dengan mempertontonkan kalimat “I Belong to Jesus” sambil berlutut dan mengarahkan kedua telunjuk ke udara itu bukanlah seorang Ricardo Kaka. Namun Kaka memang pesepakbola yang dikenal dengan image pria baik-baik. Image yang disempurnakannya melalui kerja keras di lapangan hijau. Sebagai penghubung antara gelandang dan targetman, liuk tubuhnya selalu menggambarkan kebebasan dalam menjelajah wilayah pertahanan lawan. Mempertontonkan daya magis yang menjadi perpaduan antara kemolekan sepakbola tanah nenek moyangnya yang mendarah-daging dan efektivitas hasil racikan seorang jenius Italia. Kebebasan dan keindahan yang pada akhirnya dikembalikan dalam bentuk syukur kepada Dia yang memberikan anugerah semacam itu kepadanya.
Walaupun tak ada yang paham isi hati seseorang, walaupun terkadang kenyataan tidak sama dengan apa yang terlihat – mungkin melalui sujud syukurnya, Demba Ba ingin menunjukkan kalau apapun yang dapat ia lakukan dan miliki tak pernah lepas dari campur tanganNya. Tentang bagaimana Ia turut ambil bagian untuk menempatkannya dalam posisi yang tepat untuk memanfaatkan momentum beberapa detik itu. Mungkin Demba Ba menyadari ini, bahwa superioritasnya sebagai pesepakbola tak akan pernah lepas dari kendali Tangan-Tangan Tak Terlihat itu.
Dan bicara tentang rasa syukur, rasanya tak ada rasa syukur yang lebih menyentuh titik terdalam yang dimiliki oleh seluruh penikmat sepakbola di tanah air ini selain apa yang dilakukan oleh Indra Sjafri bersama anak-anak asuhnya. Tentang spontanitas yang membawa kita kepada pemahaman akan wujud gairah bersepakbola yang sebenarnya.
Mungkin kita pernah menangis haru saat menyaksikan Baggio yang telah berpredikat sebagai penggawa Juventus menangis usai membobol gawang Fiorentina. Mungkin kita pernah terenyuh dengan selebrasi yang berarti kebahagiaan yang dipertontonkan oleh para pesepakbola Tahiti di perhelatan Piala Konfederasi beberapa waktu yang lalu. Namun tetap saja tak ada yang lebih mengharukan dibandingkan saat mereka merayakan gol yang berarti kemenangan, kemenangan yang berarti ukiran sejarah yang baru setelah dua puluh dua tahun silam. Perayaan yang memvisualisasikan kerendahan hati. Perayaan yang membuktikan bahwa sesungguhnya seseorang hanya akan ditinggikan saat ia merelakan diri untuk merendah. Sebagai penikmat sepakbola, tak ada rasa syukur yang lebih besar karena pada akhirnya aku menyaksikan sendiri sejarah baru yang nantinya akan aku ceritakan kepada siapapun yang menjadi anak-cucuku.
Mungkin selebrasi pasca menceploskan gol ke gawang lawan itu hanya terjadi dalam kurun waktu satu sampai dua menit. Namun sesingkat apapun itu, aku terlalu percaya kalau selalu ada makna yang menjadi kebahagiaan dan kebanggaan personal bagi mereka yang membuahkan gol. Selama ini kita terlanjur terlena dengan hal-hal berdurasi panjang, namun mungkin hal-hal dengan makna yang tak biasa tak perlu dipertontonkan dalam waktu yang lama. Karena bukannya tak mungkin, visualisasi yang berlarut-larut dan berlebihan hanya akan membutakan seseorang – membuatnya tak mampu melihat kesempatan untuk menikmati pencapaian yang jauh lebih membanggakan dan membahagiakan yang sesungguhnya sudah menanti di depan mata.

Ditulis oleh : Marini Anggitya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar