Minggu, 17 Mei 2015

Para Penggali Kubur

By Marini Anggitya,
44130219112621-cemetery-vienna-central-cemetery-horizontal-gallery.jpg

Waktu kecil dulu aku selalu ngeri kalau harus berdekatan dengan kuburan. Pikirku, tempat itu penuh dengan makhluk berwajah seram berambut panjang nan kusut yang gemar muncul tiba-tiba dan mengeluarkan suara tawa yang sama sekali tak membuatku ingin tertawa. Makanya, setiap kali melintasi kuburan yang celakanya menjadi satu-satunya akses untuk sampai ke rumah, aku selalu memalingkan wajah. Ke mana saja, yang penting tak ke arah batu nisan yang tertancap seadanya itu.

Tapi ada seorang teman yang belakangan baru aku ketahui ternyata mengakrabi kuburan sejak kecil. Lewat tulisannya ia menjelaskan kalau kuburan selalu dianggapnya sebagai kompensasi perasaan asing tinggal di kampung orang. Maklum, ia dan keluarganya adalah perantau. Barangkali baginya kuburan adalah bukti tentang masa lalu. Gundukan tanah yang menutupi tubuh yang tak lagi bernyawa bahkan tak berbentuk itu menjadi semacam catatan sejarah kalau orang yang dikubur di sana pernah hidup bahkan mengerjakan ini dan itu. Kaveling dua kali satu meter itu juga menjadi semacam peringatan kalau selalu ada yang bisa dimulai setelah lara yang tak tertanggung itu berakhir.
Teman yang sama ini pulalah yang memperkenalkanku kepada sebuah esai yang berkisah tentang seorang penggali kuburan yang ditulis oleh Jimmy Breslin. Esai yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berjudul “Ini Sebuah Kehormatan” ini berkisah tentang Clifton Pollard yang diberikan tugas untuk menggali liang lahat di hari Minggu pagi. Namun berbeda dengan liang lahat yang pernah ia gali, orang yang akan berbaring di sini bukanlah orang sembarangan. Namanya, John Fitzgerald Kennedy. Ia adalah presiden Amerika Serikat yang mati ditembak dalam kunjungan politiknya.

”Sekarang ia akan datang ke sini dan berbaring di liang lahat yang saya gali. Kau tahu, ini benar-benar sebuah kehormatan buat saya, mengerjakan semua ini.”Pollard berbicara seperti itu kepada John Metzler, yang tampaknya adalah seorang petugas area pemakaman yang mengabarkan Pollard akan tugas mendadaknya itu. Bukan kalimat yang puitis, tapi secara ajaib menjadi antinomi stereotip yang selalu dilekatkan dengan kuburan. Kuburan ternyata tak melulu berbicara tentang hal-hal yang mengerikan, tak selalu mengingatkan tentang tragedi – karena toh Pollard sudah membuktikan kalau kuburan juga bisa berarti kehormatan.


Satu dua hari ini aku mendengar kisah lain tentang mereka yang disebut-sebut sedang menggali kuburan. Ceritanya bermula Kamis malam (16/4/2015) yang lalu saat berlangsung diskusi yang membicarakan masa depan sepak bola Indonesia dan Persebaya di stasiun televisi lokal bernama SBO TV. Diskusi ini dihentikan di tengah jalan secara paksa lewat aksi kekerasan yang ditujukan pada waktu itu juga kepada salah satu narasumber yang mewakili pihak Persebaya 1927.
Menyikapi kejadian ini, Bonek Persebaya 1927 pada akhirnya menyatakan perlawanan tegas yang diawali dengan pernyataan tertulis. Bagi mereka, sama seperti yang ditulis oleh Andie Peci dalam pernyataan tertulis itu, aksi penyerangan tak jantan tadi semakin membuktikan bagaimana mafia dan premanisme telah dengan lancangnya mengangkangi sepak bola Indonesia.

Bagi Bonek Persebaya 1927, perlawanan ini bukan sekadar melawan ormas-ormas semimiliter tetapi perlawanan terhadap siapa-siapa yang melecehkan sejarah panjang PSSI itu sendiri. Bagi mereka yang mengawal Persebaya 1927 itu, perlawanan ini bukan sekadar melawan orang-orang berseragam loreng, tetapi juga melawan siapapun yang berusaha merampas budaya sepak bola dan menggantikannya dengan pembenaran atas kepengecutan. Dalam pernyataan itu ditulis, apa yang dilakukan gerombolan ormas tadi sama sekali tak sejalan dengan budaya tribun yang kerap diusung oleh sepak bola. Budaya tribun memang budaya yang keras dan kasar, namun ia tak menjadikanmu pengecut. Datanglah ke stadion, selesaikan semuanya di sana, bahkan bertarunglah secara jantan kalau memang diperlukan. Budaya tribun akan membuatmu pulang dengan lebam dan koyak di sekujur tubuh - tapi kalau kau menang, kau menang dengan terhormat – kalau kau kalah, kau kalah dengan terhormat.

Mereka menolak berunding dengan maling yang telah merampok rumahnya. Mereka mendukung pembekuan PSSI oleh pemerintah. Sebuah bentuk perlawanan yang juga dianggap tak jauh berbeda dengan menggali kuburan bagi sepak bola itu sendiri. Katanya, dukungan mereka terhadap pembekuan PSSI sama saja dengan tidak memikirkan nasib para pesepak bola, pelatih dan siapapun yang hidupnya bergantung pada sepak bola negeri ini.
Namun yang menjadi pertanyaan, benarkah sepak bola Indonesia yang seperti ini sungguh tidak layak dikubur? Apakah sepak bola dengan segala kebusukan, kebebalan, kerakusan dan kepengecutannya adalah perihal yang pantas untuk dibiarkan hidup? Bagaimana jika sepak bola yang seperti ini memang sudah layak dikubur karena ia memang sudah mati? Bagaimana jika ini memang waktunya untuk melahirkan dan merawat sepak bola yang benar-benar bermartabat dan terhormat?

Terdengar naïf memang, namun yang membuat kuburan tidak menjadi perihal menyeramkan di mata temanku itu adalah karena ia tahu bahwa di balik segala sesuatu yang tak bisa lagi ditanggung, ada awal yang bisa dimulai.

Pekerjaan sebagai penggali kubur bukanlah pekerjaan yang diminati oleh banyak orang - barangkali pekerjaan ini adalah pekerjaan orang-orang yang tersingkirkan dari persaingan bursa kerja. Dalam esai itu Breslin menjelaskan bahwa atas pekerjaannya, Pollard berhak menerima upah sebesar USD 3,01 per jam yang bila dirupiahkan akan setara dengan Rp 38.513,-. Dan ingatlah pula kalau ia seorang penggali kuburan yang hanya akan bekerja jika ada orang yang meninggal. Namun yang menjadikan pekerjaan Pollard pada hari itu bukan sekadar menggali kuburan tetapi juga membangun kehormatan adalah karena ia paham orang seperti apa yang dibaringkan di sana.

Orang-orang yang katanya sedang menggali kuburan itupun adalah orang-orang yang terpinggirkan. Mereka pun tidak sedang mempersiapkan liang lahat untuk seorang John Fitzgerald Kennedy. Tapi jika perlawanan yang mereka lakukan benar-benar perlawanan yang dilakukan dengan sebaik-baiknya dan dengan sehormat-hormatnya, aku pikir mereka juga paham tentang apa yang sedang mereka kubur dan apa yang harus segera mereka mulai.

Menyederhanakan (Kembali) Sepakbola Indonesia

By Bolatotal,

Oleh : Aun Rahman

Jika ada yang bertanya kepada saya mana yang lebih bagus, tesis saya atau semua artikel sepakbola yang sudah pernah saya buat, maka saya akan dengan cepat menjawab, bahkan mungkin dengan lantang, bahwa tulisan-tulisan saya yang beredar di panel olahraga online lah yang terbaik.
Mengapa saya akan memeberikan Jawaban demikan? Hal tersebut dikarenakan, semua artikel sepakbola yang pernah saya kerjakan dapat dinikmati banyak orang, akses untuk membacanya pun tidak terlalu sulit. (Harapan saya) setiap tulisannya dapat menjangkau setiap kalangan, mulai dari yang biasa nongkrong di retail kopi elit asal Amerika Serikat sampai dengan warung kopi di perempatan jalan.
Sementara tesis atau karya ilmiah saya, lebih terbatas. Bukan hanya dari ide pokoknya hanya bisa dipahami kalangan yang memang sama-sama mendalami ilmu dan pengetahuan yang saya dalami. Tetapi juga tujuan utamanya adalah untuk memenuhi syarat penyelesaian tingkat pendidikan saya. Dari segi akses tentunya lebih sulit, karena hard copy-nya tersimpan di perpustakaan kampus saya, yang mana tidak setiap orang bisa dengan mudah membacanya.

Padahal idealnya bahkan seharusnya, setiap karya ilmiah atau tesis tujuan besarnya adalah untuk manfaat bagi orang banyak, bagi masyarakat sekitar, bagi negara.
Hal itu mungkin yang terjadi saat ini di sepakbola Indonesia. Sepakbola negeri ini sudah lama sekali agak sulit dinikmati seluruh warganya. Mulai dari yg sederhana saja. secara praktis lapangan sepakbola di Indonesia memiliki biaya sewa yang cukup mahal, adapun ruang publik yang disediakan untuk bermain sepakbola terhitung sedikit bahkan ruang tersebut bukan untuk bermain sepakbola, tetapi untuk bermain futsal ataupun mini soccer.
Belum lagi tiket menonton pertandingan yang fluktuatif, lalu siaran pertandingan yang hanya menyiarkan tim-tim tertentu. Dan yang paling krusial, salah satu tanda bahwa sepakbola Indonesia hanya dapat dinikmati oleh pihak-pihak tertentu adalah, sepak terjang asosiasi sepakbola tanah air tercinta yaitu PSSI.

Dalam hampir beberapa pekan terakhir, kita dihangatkan dengan isu-isu terkait pembekuan asosiasi sepakbola negara kita ini. Ada yang pro ada yang kontra, masing-masing memilki alasan kuat untuk berdiri di sisi pilihannya. Saya tidak akan membahas tentang kronologisnya karena sudah banyak sekali diulas di media online ataupun cetak. Dan tentunya saya tidak akan membahas mengenai pernyataan salah satu komite eksekutif PSSI yang menyebutkan bahwa pembekuan asosiasi sepakbola negara kita akan berpengaruh kepada akan sulitnya kita untuk mendapatkan tayangan sepakbola Eropa. Jadi mari kita mulai dengan beberapa pertanyaan sederhana.
“Berapa banyak rakyat Indonesia yang mengetahui kalau PSSI adalah organisasi non-pemerintah?”
“Berapa banyak rakyat Indonesia yang mengetahui bahwa sumber dana PSSI berasal dari sponsor, bukan dari uang negara/APBN?”

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin hanya diketahui oleh sebagian rakyat Indonesia saja, bahkan hanya kalangan-kalangan tertentu. Padahal dari singkatan saja kata terakhir dari PSSI adalah INDONESIA, bukan kata lain yang merujuk golongan atau kelompok tertentu.
Maka akan menjadi sangat wajar ketika Kementerian Olahraga Republik Indonesia memutuskan untuk melakukan pembekuan terhadap PSSI, karena ada kata ‘Indonesia’ yang membuat organisasi ini menjadi bagian dari negara yang berdaulat. Walaupun di sisi lain PSSI tetap bersikeras bahwa mereka berada di bawah kedaulatan FIFA.

Jargon Football for Everyone yang didengungkan oleh FIFA sendiri menunjukan bahwa sepakbola bersifat universal, untuk semua kalangan. Termasuk sepakbola Indonesia yang seharusnya bisa lebih transparan dan dapat dinikmati semua kalangan. Dan yang lebih penting lagi, sepakbola Indonesia harusnya memberikan kesenangan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sebagian kecil kelompok saja.
Sepakbola memberikan kesenangan bagi setiap orang, merupakan sesuatu yang sederhana bukan?

Foto: Tempo.co